Dalam Batasan Kasih




“Aku tidak ingin melanjutkannya, mas!” Kataku berusaha terlihat tegas. Aku mencoba menahan airmataku yang hendak mengalir dan berusaha melantangkan suara, “mengertilah bahwa aku tidak lagi mencintaimu. Aku tidak ingin melihat mas lagi. Lebih baik kita akhiri saja!!”

Mas Taufik nampak terpukul sekali mendengarnya. Kulihat bola matanya mulai berkaca-kaca. Sungguh hatiku begitu teriris melihatnya. Serasa jantungku dicacah dari dalam… sakit rasanya. Tapi aku tidak punya pilihan. Bagaimanapun juga aku harus membuat Mas Taufik membenciku. Aku ingin dia meninggalkanku.

Malam semakin larut. Semilir angin membelai rerumputan dan menimbulkan suara gemerisik. Rembulan merana terlingkup mega hitam yang menyekat sinarnya sehingga menambah suram suasana rumah kecil kami yang mulai lapuk dimakan usia. Kami menggunakan lampu dian sebagai penerang rumah karna sejak seminggu lalu PLN memutus sambungan listriknya yang disebabkan karna kami tidak sanggup membayar tagihan.

“Lastri… apakah kau akan meninggalkanku begitu saja? Setelah semua yang telah kita lewati bersama?” Mas Taufik berbicara dengan bibir bergetar, tatapan matanya yang sayu semakin menyiksaku ke dalam perasaan bersalah.

“Berapa kali aku harus menjelaskannya, mas? Aku sudah tidak ada sedikitpun rasa terhadap mas. Percuma saja kita mempertahankan rumah tangga tanpa adanya cinta. Mengapa  ti…” Aku memaksakan diri berbicara selantang mungkin  kemudian terdiam ketika menyadari putraku mulai menggeliat di gendonganku, dengan sigap aku berusaha menenangkannya agar tidak terbangun.

“Apa salahku? Kenapa kau memperlakukanku seperti ini? Katakan Lastri!! Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki diri. Aku akan membuatmu mencintaiku lagi. Apapun itu aku akan lakukan demi rumah tangga kita. Demi putra kecil kita.” Tatapan mata Mas Taufik begitu berapi-api. Aku menyadari bahwa dia memang serius mengucapkannya.

Sungguh aku tau betapa besar rasa cinta Mas Taufik terhadapku. Aku bahkan paham betul bahwa dia bersedia melakukan apapun dan mengorbankan apapun demi diriku. Itulah sebabnya aku menerimanya ketika dia datang melamarku. Kala itu aku bertekad untuk hidup dalam suka dan duka bersama Mas Taufik dan aku tidak menuntut apapun darinya. Aku bahkan tidak peduli dengan latar belakang ekonominya dan sebagainya. Aku percaya bahwa kami pasti akan berhasil melalui segala hal asalkan cinta kami berdua tulus.

Dulu, beberapa tahun yang lalu, ketika kami belum menikah. Aku mengenal Mas Taufik sebagaimana orang-orang mengenalnya. Dia adalah pemuda yang rajin, selalu bangun pagi dan aktif ke Masjid. Selain itu dia adalah pemuda yang santun dan ramah kepada semua orang. Dia adalah sulung dari 3 bersaudara. Kedua adiknya perempuan dan dia memiliki seorang Ibu. Ayahnya meninggal ketika Mas Taufik baru menginjak bangku SMP. Karna itu mas Taufik merasa bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Sepeninggal ayahnya, Mas Taufik hanya bisa mengenyam bangku SMP. Setelah itu dia bekerja untuk menyekolahkan adik-adiknya. Ya, dia adalah pemuda yang baik dan santun sebab itulah aku diam-diam mengaguminya. Meskipun aku bukan seorang bunga desa, banyak orang menyebutku cantik. Sebab itu tak sedikit pemuda kampung yang mendekatiku, tapi tak satupun dari para pemuda itu yang menarik minatku. Mas Taufik adalah sosok pemuda yang dikenal santun, itu sangat berbeda denganku yang lebih dikenal sebagai wanita yang tegas dan teguh pendirian, meski tak sedikit orang menyebutku keras kepala. Tapi begitulah aku, ketika aku sudah mengucapkan sesuatu maka aku akan melakukannya.

Awal mula aku mengenal Mas Taufik adalah saat aku masih di bangku SMA. Karna kampungku agak terpencil maka sarana transportasipun terbatas. Selepas Ashar tidak akan ada lagi kendaraan umum yang mengarah ke Kampungku. Padahal Sekolahku berada di Kampung lain. Kala itu aku terlambat pulang karna suatu hal sehingga kehabisan angkot. Hingga hampir menjelang Maghrib aku menunggu tak ada satupun angkot yang kuharapkan terlambat pulang. Memang ada beberapa pemuda kampungku yang juga Sekolah di tempat yang sama denganku tapi aku enggan meminta bantuan mereka.

Tiba-tiba pertolongan datang seperti dari langit. Mas Taufik yang kala itu kebetulan sedang membeli beberapa keperluan di Kampung tempat Sekolahku berada, lewat didepanku. Aku langsung memanggilnya dan menjelaskan keadaanku. Biasanya ayahku akan marah jika mengetahui aku pulang berboncengan dengan pemuda, tapi aku yakin jika pemuda itu adalah Mas Taufik, ayah akan memakluminya apalagi melihat keadaanku, memang tidak ada pilihan yang lebih baik.

Mas Taufik benar-benar pemuda yang lugu. Aku lihat dia agak grogi ketika aku membonceng motornya. Dia bahkan kesulitan untuk berbincang-bincang padaku, hanya mengatakan kata-kata yang formal. Dia tidak sok akrab dan memanfaatkan keadaan. Itulah sebabnya aku merasa aman bersama Mas Taufik. Aku berharap keadaan ini akan berlangsung selamanya. Sungguh saat itu aku merasa nyaman berada dekat dengan Mas Taufik.

Setelah kejadian itu, terdengar desas desus di kampungku bahwa sikap Mas Taufik terlihat berbeda. Jika selama ini Mas Taufik selalu tampak kaku , tiba-tiba saja dia nampak bercahaya seperti mentari. Orang-orang mengatakan Mas Taufik seperti terlahir kembali. Dia menjadi tampak sumringah dan kadang terlihat senyum-senyum sendiri.

Orang-orang berkesimpulan bahwa sesuatu yang besar baru saja terjaadi dengan Mas Taufik. Ya, desas desus yang terdengar adalah bahwa Mas Taufik tengah dilanda mabuk asmara. Tapi dengan siapa? Orang-orang melirikkan pandangan padaku. Selama ini Mas Taufik memang dikenal alim, dia tidak pernah dekat-dekat dengan wanita. Meski begitu pernah sekali dia begitu dekat dengan seorang wanita, bahkan memboncengkannya dari luar Kampung ke rumah, dan wanita itu adalah aku.

Desas-desus itu tersebar semakin luas. Tapi entah kenapa aku tidak marah atau berusaha menyangkalnya. Sejak itu aku merasa tertarik dengan kepribadian Mas Taufik. Aku mulai dekat dengan kedua saudarinya dan ibundanya. Setelah desas desus itu aku memang selalu meluangkan waktu mampir ke rumah Mas Taufik meski bukan untuk menemui Mas Taufik, aku beralasan untuk menemui ibunda beliau. Meski begitu, Mas Taufik tidak juga memanfaatkan kesempatan yang ada. Tetap saja ketika berpapasan denganku dia hanya menyapa secara formal dan berlalu begitu saja. Aku hanya bisa mendesah panjang melihat kelakuan Mas Taufik yang tidak responsif.

Waktupun berlalu hingga aku lulus SMA. Aku tidak meneruskan kuliah sebagaimana umumnya warga di Kampungku. Mereka yang melanjutkan kuliah biasanya memang hanya dari kalangan terpandang yang memiliki harta melimpah. Sedangkan keluargaku memiliki latar belakang ekonomi yang biasa-biasa saja.

Mungkin sudah tradisi, tapi ketika seorang gadis lulus Sekolah maka itu seperti sebuah sinyal bahwa sang gadis sudah boleh dilamar. Begitu pula denganku. Beberapa pemuda di Kampungku bahkan dari Kampung lain mendatangi rumahku untuk menyatakan niatnya menikahiku, beberapa dari mereka bahkan tergolong dari kelas terpandang. Di kampungku, seorang yang punya pekerjaan tetap sebagai PNS sudah bisa dikatakan kelas terpandang. Tapi aku menolak mereka satu demi satu. Aku tidak tau kenapa, entah karna aku ini bodoh atau bagaimana, ketika Mas Rian yang Guru SMP itu datang melamarku, aku langsung menjawabnya dengan kata “tidak,” padahal dia adalah pemuda yang baik dan mapan, jika aku menjadi istrinya maka aku akan hidup lebih baik.

Ayahku sampai terheran-heran dengan sikapku. Bahkan sampai usiaku 20 tahun, aku belum juga menerima lamaran siapapun. Di kampungku, seorang gadis yang tidak sedang Kuliah atau sedang bekerja di suatu tempat seharusnya sudah berumah tangga ketika usianya telah matang. Pada akhirnya ayah ibuku membicarakan hal ini secara serius. Penolakanku terhadap Mas Rian tentu tidak bisa dibilang sepele karna itu artinya aku menghilangkan kesempatanku untuk hidup secara baik dan terpandang di masyarakat.

Akupun mengatakan pada orangtuaku bahwa aku tidak mencintai Mas Rian. Orangtuaku paham betul dengan watakku yang “keras kepala” sehingga mereka tidak mendebatku. Entah karna angin apa, Mas Taufik tiba-tiba datang ke rumahku dengan setelan rapi. Mengenakan sepatu hitam, kemeja batik rapi dan celana hitam lengkap dengan sabuknya. Dengan terbata-bata dia menyatakan keinginannya untuk melamarku dan entah kenapa tiba-tiba saja aku mengucapkan bersedia. Ayahku begitu terkejut mendengar keputusanku, tapi seperti biasa, tak seorangpun di keluargaku berani mendebat apa yang sudah aku putuskan.

Tentu saja, demi menjaga kredibilitas nama keluargaku, ayahku tidak akan menolak Mas Taufik menjadi menantunya karna aku sudah menyatakan bersedia. Jadi, aku mengorbankan masa depanku untuk hidup lebih baik bersama Mas Rian dan memilih hidup sederhana bersama Mas Taufik. Satu-satunya alasan kuat yang melandasinya hanyalah satu kalimat yang bernama “Cinta.” Aku tau betul bahwa Mas Taufik mencintaiku lebih dari apapun, dan aku mengira dengan rasa cinta, kami bisa melalui apapun.

“Mas harus mengerti. Aku tidak mencintai mas lagi. Apa itu belum cukup?” Aku membentaknya dengan suara lantang, serta merta Fariz, putraku, terbangun dan menangis. Aku berusaha menenangkannya. Mas Taufik mendekatiku hendak mengelus Fariz agar terdiam, aku hendak menghindarinya tapi tidak tega, aku membiarkan Mas Taufik melimpahkan kasih sayangnya pada putra kami hingga akhirnya Fariz terdiam dan tertidur lelap.

“Bagaimana nasib putra kita nanti?” Kulihat airmata Mas Taufik mengalir dipipinya. Aku hanya bisa menggigit bibirku, mencoba menahan diri agar tidak terbawa perasaan, mencoba menahan agar tidak menumpahkan airmataku.

Sempat terpikir untuk membatalkan keinginanku untuk bercerai, tapi aku tak mungkin melakukannya. Mungkin terlihat begitu kejam, tapi kenyataannya aku tidak ingin bersama Mas Taufik karna aku mencintainya. Aku begitu mengenal betul wataknya yang penuh kasih dan tanggung jawab, tapi justru hal itulah yang membuatku ingin agar Mas Taufik melupakanku. Bukan karna aku benci, bukan pula aku sudah kehilangan rasa cinta. Tapi semua karna keadaan yang memaksa.

Sudah 4 tahun kami menjalani hidup berumah tangga, namun keadaan ekonomi tidak juga membaik. Aku menyadari Mas Taufik mulai kelimpungan mencari nafkah. Bahkan demi menghidupiku, kedua adiknya tidak bisa melanjutkan Sekolahnya. Kemudian ketika Fariz pertama kali meneriakkan tangisan pertamanya, keadaan semakin memburuk. Mas Taufik bekerja siang malam tanpa mengenal istirahat, dia menjual semua yang dimilikinya. Bahkan hari demi hari tubuhnya semakin kurus, sangat berbeda denganku. Mas Taufik selalu mengusahakan untuk mencukupi semua kebutuhanku dengan melupakan dirinya. Pernah suatu kali aku menolak untuk makan sebelum melihat Mas Taufik makan, tapi dia mengatakan bahwa aku menyakiti harga dirinya sebagai seorang suami.

Sering aku menyarankannya istirahat ketika badannya sakit tapi dia menolaknya. Dia tetap bekerja dengan tubuhnya yang semakin sakit-sakitan. Dia sudah tidak peduli dengan dirinya sendiri hanya demi diriku. Ingin sekali aku membantu Mas Taufik bekerja, tapi bagaimana dengan Fariz jika aku bekerja? Semakin hari aku semakin tersiksa. Meski tubuhku sehat dan segar, tercukupi gizi dan kasih sayang oleh Mas Taufik tapi hatiku sakit. Istri mana yang tega melihat suaminya tersiksa saat dirinya hidup serba kecukupan?

Aku akan terlihat jahat jika membebankan suamiku apa yang diluar kemampuannya. Lalu apakah ada keputusan yang lebih baik? Sungguh, aku tidak pernah ingin suamiku menderita lebih lama lagi karna diriku sebab itu aku harus membuat keputusan yang tegas. “Mas, besok antar aku ke rumah orangtuaku.” Kataku lirih.

Kulihat Mas Taufik begitu pasrah, tatapannya kosong seperti kehilangan ruh. Airmatanya mengalir semakin deras. Dia hanya diam membisu tak berani mendebatku, karna sebagaimana yang diketahuinya tentangku, ketika aku memutuskan sesuatu tak ada seorangpun yang pernah berhasil merubahnya. Mas Taufik mendekap kedua lututnya dan membenamkan kepalanya didalamnya, aku mendengarnya menangis terisak-isak. Kemudian, nyaris tak terdengar dia berkata, “baiklah, asalkan itu bisa membuatmu bahagia.”


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bidadari Untuk Arya



Semburat sinar mentari membias dalam semburat kuning keemasan tatkala berpadu dengan langit sore nan cerah. Menelisik rimbun dedaunan dengan sinarnya yang teduh dan memantulkan bayang menyilaukan dalam permukaan kolam yang tenang. Tiba-tiba ketenangan permukaan air itu buyar oleh adanya riak gelombang tak beraturan yang membuat ikan-ikan yang sedang bersantai menghirup udara berhamburan masuk ke dalam.

Aku tersenyum melihat tingkah adikku, Siska yang berkecipak di pinggiran kolam dengan kedua kakinya. Dia nampak menikmati tingkah lakunya dan terus membuat gelombang air tanpa peduli dengan ikan-ikan yang terganggu olehnya. Senyum mengembang dipipinya, membuatnya tampak begitu manis. Matanya berbinar menatap segerombolan ikan yang berhamburan.

Aku mendekatinya dan duduk disampingnya. Dingin menjalar tatkala kucelupkan kedua kakiku ke dalam kolam. “Ada apakah gerangan dengan adikku ini?”

Siska memandang ke arahku dan memberikan senyumannya yang paling manis. Siska menggeser lebih dekat ke arahku, tiba-tiba ia menggamit lenganku dan bersandar dipundakku. Aku membiarkannya dan membuatnya senyaman mungkin, “Akan segera datang hari yang paling membahagiakan untukku karna akan mempunyai kakak baru. Akhirnyaaa… setelah sekian lama menanti, hari itu datang juga.”

“Memangnya Siska belum puas memiliki satu kakak?” Tanyaku.

“Lebih banyak kan lebih baik, kak. Oh iya kak, gadis yang akan jadi kakak ipar Siska itu orangnya gimana kak?”

Aku memandang mata adikku yang teduh dan membelai rambutnya yang lurus dengan sela-sela jemariku, “Jangan terlalu optimis begitu dong, belum tentu juga dia mau menjadi kakak ipar Siska.”

“Pokoknya dia harus mau jadi kakak ipar Siska. Siska kan tidak pernah lupa berdoa tiap malam agar dia mau jadi kakaknya Siska” Siska cemberut membuat pola wajahnya begitu lucu.

Aku hanya membalas ucapan Siska dengan senyuman. Mentari sore telah kehilangan kegarangannya sehingga aku berani beradu pandang menatap kemilaunya yang menawan. Mentari sore itu begitu teduh meski tetap menyilaukan. Aku memalingkan wajahku darinya namun bercak-bercak bias mentari masih membayang di kelopak mataku.

Aku menerawang beragam pikiran tentangnya. Tentang Aisya. Aku sendiri masih penasaran dengannya, bagaimana hidupku nanti jika aku pada akhirnya bersamanya. Aku baru mengenalnya sebulan yang lalu melalui sesi ta’aruf. Namun dalam waktu yang singkat aku sudah cukup mengenal karakteristiknya.

“Setelah perempatan kedua kita belok ke kanan, disitu ada rumah berwarna hijau menghadap ke timur. Nah disitulah rumah Aisya.” Irham tidak henti-hentinya berbicara sepanjang perjalanan, memberikan informasi sedetail-detailnya karna takut aku tersesat. Bagaimanapun juga dia merasa bahwa dirinyalah yang paling bertanggungjawab atas hubunganku dengan Aisya.

Irham adalah teman lamaku di SMP. Kami kembali bertemu setelah sekian lama berpisah. Irham masih memiliki hubungan kerabat dengan Aisya, antara Aisya dan Irham ada hubungan sepupu. Aku sering sekali ngobrol dengannya dan mengungkapkan kegalauanku sebagai seorang pria yang telah beranjak dewasa, yang tiap detiknya selalu terombang-ambing oleh perasaan tak menentu karna tiadanya tempat melabuhkan hati. Karna itu Irham menjadi mak comblang hubunganku dengan Aisya. Aisya adalah seorang gadis yang menjaga kehormatannya sehingga tidak mudah didekati oleh lelaki. Dan jalanku untuk mengenalnya lebih jauh adalah melalui sesi ta’aruf.

Kami telah bertukar biodata dan mengetahui profil masing-masing. Aku tertarik olehnya dan menawarkannya untuk maju ke tahap selanjutnya. Itulah sebabnya hari ini aku jauh-jauh datang kesini dengan Irham yang sekaligus menjadi penunjuk jalan.

“Assalamu’alaykum…” Aku mengucapkan salam ketika akhirnya kami sampai di depan rumah Aisya.

Belum ada jawaban. Kami berdua menunggu dengan sabar. Ketika aku hendak membuka mulutku untuk mengucapkan salam yang kedua kalinya, terdengar sebuah jawaban dari dalam.

“Wa’alaikum salam warohmatulloh… sebentar…” sayup-sayup terdengar suara seorang gadis.

Gadis itu membuka pintunya dan berpapasan muka denganku. Wajahnya persis seperti yang ada di foto. Tak salah lagi, pasti Aisya. Jantungku berdegup kencang ketika pandangan mata kami bertemu. Pandangan matanya begitu menyihirku. Aku hendak menundukkan pandangan ketika akhirnya aku sadar bahwa tidak ada salahnya menikmatinya. Aku memandang matanya dan tersenyum, kubiarkan dadaku berdesir nyaman. Terpesona oleh kecantikannya.

“Oh mas Arya, mari silakan masuk. Mas Irham juga masuk aja.” Aisya mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya. Aisya membetulkan kursi yang kurang rapi dan mempersilakan kami duduk.

“Tunggu sebentar ya, mas.” Kata Aisya lembut, kemudian dia masuk ke dalam. Aku tidak melepaskan pandanganku darinya hingga Aisya menghilang di balik dinding. Angan-anganku melayang entah kemana. Aku hampir tidak percaya bisa bertemu gadis seanggun Aisya.

“Arya… Arya…” suara Irham membuyarkan khayalanku.

“Ada apa?” Jawabku.

“Ah enggak. Cuma memastikan kalo jasadmu masih ada isinya, hehe…” Irham tertawa kecil untuk kemudian memasang mimik lebih serius, “jangan lupa, ini tahapan yang serius. Keputusan apapun yang dibuat bisa menentukan takdirmu. Bagaimanapun juga, Aisya tetaplah seorang manusia yang juga memiliki kelemahan. Jadi bersikaplah objektif dalam menilainya.”

Aku menganggukkan kepalaku pertanda setuju. Irham benar, aku tidak boleh hanya terpesona oleh keanggunan Aisya saja, aku harus menilainya secara objektif berikut semua kelemahan dan kekurangannya. Sebelum aku mengambil keputusan final yang akan menjadi nasibku.

“Bagaimana perjalanannya mas, tidak tersesat kan?” Aisya datang dengan membawa nampan berisi minuman dan kue.

“Alhamdulillah tidak, kan ada Irham.” Jawabku sambil terus memandangnya, mencoba melihat semua tentang dirinya. Tentang tutur katanya, ekspresinya, emosinya bahkan kesalahannya.

“Mari silakan diminum.” Kata Aisya, “maaf sepi, adikku masih di Sekolah, abi masih kerja, sedangkan ummi lagi keluar. Terima kasih mas Arya sudah datang jauh-jauh kesini agar kita bisa saling mengenal lebih dekat. Ini adalah hari yang penting buat kita, karna hari ini keputusan akan segera diambil.”

Aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Jika ta’aruf ini dilanjutkan ke sesi berikutnya maka aku akan tambah keluarga. Aku akan memiliki seorang adik ipar dan ayah-ibu mertua. Aisya adalah gadis yang baik dari segala sisi. Dia pandai memasak. Nasabnya jelas. Rajin dan yang terpenting bagus agamanya. Dari sisi fisik dia juga cukup anggun. Jika aku harus melihat keburukannya maka itu menjadi sulit bagiku. Tapi bukan tidak ada. Tapi kebaikannya terlalu banyak dibandingkan keburukannya. Dia sangat sensitif, perfeksionis dan mudah cemburu. Itu sangat manusiawi. Menurutku dia sudah sempurna, dan aku adalah seorang pria yang sangat beruntung bila mendapatkannya. Pertanyaannya sekarang. Apakah dia mau mempersembahkan seumur hidupnya untukku?

Kami berdua saling mengobrol sementara Irham sibuk sendiri dengan HPnya. Kami saling menceritakan kehidupan masing-masing. Tentang keluarga. Tentang cita-cita dan semuanya. Aisya bersikap sangat terbuka dan akupun bersikap terbuka.

“Apakah mas Arya pernah merasakan jatuh cinta?” Aisya bertanya dengan nada yang tenang, namun perkataannya yang tenang menjadikan gemuruh didalam dadaku. Jatuh cinta? Pernahkah aku merasakannya? Aku adalah seorang pemuda biasa yang sering kali dilanda gejolak. Aku bukan pula seorang yang paham agama sehingga bisa terus membentengi diri.

Kembali aku terkenang masa-masa Sekolah dulu. Tentang seorang gadis yang pernah membuatku begitu terpikat olehnya. Apakah aku harus terbuka tentang hal ini pada Aisya? Tapi jika aku berbohong maka tidak akan ada berkah bagi ta’aruf ini.

“Pernah. Itu dulu.” Aku menjawab dengan pasrah.

Aisya menatapku lama kemudian seberkas senyum menghias lesung pipinya, “itu sangat manusiawi karna aku juga pernah merasakannya.”

DEGG !!!

Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdetak keras. Sesuatu yang hangat semakin membara didadaku. Perasaan apa ini? Ini adalah perasaan yang sama dengan waktu dulu, ketika aku mendengar Risma jatuh hati pada lelaki lain selain diriku. Ada panas membara tapi aku tidak tau harus berbuat apa.

Aku tidak berani menatap tatapan Aisya yang sejuk karna takut akan kecewa. Meskipun ini hanyalah ta’aruf tapi aku telah merasa hampir memiliki Aisya. Tinggal satu langkah lagi. Aku benar-benar tidak ingin kecewa. Sudah beberapa kali aku gagal dalam ta’aruf dan itu cukup menyakitkan. Aku tidak bisa menyangkal bahwa aku jatuh hati pada Aisya dengan segala keterbukaannya. Jika harapanku padanya kandas maka akan butuh waktu bagiku untuk menenangkan perasaanku.

“Dulu aku mencintainya…” Aisya mulai bercerita, “tapi sekarang tidak ada sedikit rasapun tersisa karna cintaku padanya ternyata hanyalah sensasi, gelora muda yang bergejolak, tidak lebih dari itu. Untungnya aku tidak pernah mengungkapkannya dan hanya memendamnya sendiri. Sehingga tidak ada kenangan antara aku dengannya. Tanpa adanya kenangan, maka melupakan menjadi semudah membalik telapak tangan. Sampai sekarang aku belum pernah memberikan cintaku pada siapapun. Dan cinta pertamaku haruslah kepada yang layak untuk dicintai.”

Aku menghela nafas lega. Tiba-tiba bara api didadaku menguap menjadi dingin. Harapan itu masih ada. Harapan untuk mendapatkan cinta pertama. Aku senang mendengarnya, ini benar-benar melegakan. “Ternyata sama ya? Sebagai lelaki, telah berkali aku terpesona oleh wanita namun aku terlalu takut untuk mengungkapkannya. Sehingga cinta pertamaku masih belum ada yang menerimanya.”

“Maaf jika pertanyaan ini sedikit mengusik, apakah mas Arya mencintaiku?” Pertanyaan yang tajam dan menghujam, namun Aisya mengatakannya dengan nada senetral mungkin. Pertanyaan ini bisa jadi jebakan buatku. Mungkin karna ini adalah sesi terakhir ta’aruf, Aisya bermaksud membedahku sedalam-dalamnya sebelum mengambil keputusan.

Aku diam sejenak memikirkan apa yang harus kujawab. Apakah aku sudah mencintainya? Padahal aku baru mengenalnya dan aku tidak memiliki kenangan terhadapnya, jadi apa alasanku mencintainya. “Belum. Rasa cinta ini belum hadir karna aku merasa rasa itu belum semestinya datang. Rasa cinta ini tidak boleh datang dan pergi sesuka hatinya. Aku harus bisa mengaturnya. Aku hanya boleh mencintai dia yang sudah menjadi milikku dan halal bagiku. Namun Aisya, aku memiliki harapan besar terhadapmu. Yang aku rasakan terhadapmu mungkin bukanlah cinta, namun sebuah harapan. Bagaimanapun juga dalam waktu yang singkat ini aku telah banyak mengenalmu melalui keterbukaan semacam ini. Belum semestinya bagiku untuk mencintaimu karna sampai saat ini, memilikimu barulah sebatas kemungkinan. Jadi, jika aku mencintaimu sementara akhirnya tidak memilikimu maka aku akan merasa sakit. Maka lebih baik kiranya aku mencintaimu setelah memilikimu. Jika telah pasti kau menjadi milikku, maka menjadi kewajiban bagiku untuk mencintaimu. Menikahi orang yang dicintai itu barulah sebatas kemungkinan, namun mencintai orang yang dinikahi adalah sebuah keharusan.”

Aisya tersenyum, puas dengan jawabanku. Lalu matanya menatap langsung kemataku, aku sedikit salah tingkah dan hendak menundukkan pandangan ketika aku sadar bahwa Aisya ingin mengetahui apa yang menarik dari diriku sebelum mengambil keputusan, maka kubiarkan mataku beradu pandang dengannya. Aisya tersenyum, menambah indah parasnya yang cantik. Akupun membalas senyumannya. Dadaku berdesir tidak menentu sehingga rasa ini semakin menguat.

“Mas Arya, apakah kau menginginkanku?” Aisya mengajukan pertanyaan ketika aku sedang terpesona oleh kecantikannya sehingga membuatku gugup. Namun tidak perlu waktu sedetik bagiku untuk memberikan jawaban.

“Tentu saja. Aku menginginkanmu.” Jawabku mantap.

Aisya menarik nafas lega, “kalau demikian, segeralah ambil diriku. Aku tidak akan berpikir untuk kedua kalinya untuk memberikan diriku padamu.” Pipi Aisya memerah tatkala mengucapkannya.

Nafasku tercekat bersama degup jantung yang berhenti berdetak sepersekian detik. Aku membeku tak tau harus berkata apa. Sudah selesaikah? Benarkah dia sudah menerimaku? Aku hampir tak percaya dengan perkataannya. Gadis seanggun Aisya mengatakan bahwa dia ingin aku memilikinya, “Jadi. Inilah hasil ta’aruf yang sudah kita jalani selama sebulan.”

Akhirnya selesai juga. Aku benar-benar luar biasa lega. Beragam khayal seketika berjejalan masuk ke dalam kepalaku, memberikan pernak-pernik permata keindahannya. Aku nyaris mengira bahwa aku salah dengar, namun melihat senyumnya membuatku semakin yakin bahwa aku tidak sedang bermimpi. Aku menyandarkan punggungku ke kursi, mencoba hilangkan ketegangan dari percakapan tadi.

Irham memandang ke arahku dan dan tersenyum puas.

 “Bagaimana Arya?” Tanya Irham.

“Bagaimana apanya?”

“Sesi ta’arufnya kan sudah selesai. Lalu mau kapan menemui pamanku secara langsung? Dalam minggu ini aku masih bisa meluangkan waktu untuk menemanimu.”

“Aisya…” panggilku pada Aisya.

“Iya. Ada apa, mas?”

“Jam berapa ayahmu pulang?”

“Nanti sore. Kenapa?”

“Ah tidak apa-apa. Aku hanya merasa sudah tidak sabar.” Jawabku,” aku akan menunggu kedatangannya. Hari ini juga aku akan langsung melamarmu.”

Aisya membelalakkan matanya dan terdiam seolah tak percaya, “ha… hari ini juga?? Mas Arya serius?”

“Rasanya aku tidak akan sanggup jika harus menunggu besok. Bagaimana Irham? Kau tidak keberatan kan?”

“Tentu saja. Dengan senang hati. Menanti datangnya sore tidaklah seberapa jika dibandingkan penantianmu selama bertahun-tahun.”

“Sebentar lagi Ummi pulang, kita makan bareng aja disini. Nanti biar Aisya yang masakin.” Kata Aisya dengan penuh semangat. Aku sendiri juga sangat bersemangat.

“Wah jadi ngrepotin nih.”

Menunggu hingga sore rasanya tidak akan terlalu lama karna ditemani oleh Aisya. Kamipun saling berbincang dan diskusi tentang rencana pernikahan. Setengah jam kemudian ibu Aisya pulang, aku memperkenalkan diriku dan mengatakan maksud kedatanganku. Ibu Aisya sangat ramah terhadapku, dia membicarakan tentang Aisya dari kecil hingga sekarang sehingga aku bisa lebih mengenal keluarga ini, yang nantinya akan jadi keluargaku juga. Tidak terasa sore haripun tiba, setelah menunaikan sholat Ashar berjamaah. Aisya sekeluarga berkumpul. Aku sempat berbincang dengan adiknya Aisya yang bernama Rafi. Ayahnya Aisya yang bernama Pak Rusli ternyata adalah orang yang sangat peduli dengan dunia perpolitikan. Setelah menghabiskan waktu 30 menit untuk basa-basi, akhirnya aku, meskipun gugup, menyampaikan maksudku untuk meminang Aisya. Dan akupun mendapatkan sambutan yang baik.




“Waidza qobiltu nikahaha watajwijaha inni kuntu minadhdholimin.” Aku mengucapkannya dengan tegas dan pasti didepan penghulu yang kemudian menyatakan bahwa pernikahanku dengan Aisya telah sah. Para tamu yang berjejalan menyaksikan ijab qobul menarik nafas puas. Merekapun dibawa ke tempat jamuan. Sementara kami berdua dibawa ke kursi pelaminan menghadap para tamu, ayah ibuku berada disampingku, sementara ayah ibu mertuaku disamping Aisya. Tentu saja aku dan Aisya duduk berdampingan di sebuah kursi yang cukup panjang.

Hari ini sepenuhnya menjadi milik kami. Aku dan istriku duduk di singgasana seperti halnya Raja dan Permaisurinya. Kami adalah orang terpenting saat ini. Semua mata tertuju pada kami bersama iringan doa, “Barokallahu fiik”. Kami berdua adalah aktor utamanya. Aku menikmati saat-saat seperti ini. Bibirku tidak bosan-bosannya menyunggingkan senyumnya. Aku seperti terlahir menjadi manusia yang baru. Aku merasa lebih menjadi manusia. Kini aku memiliki tambatan hati. Agamakupun lebih sempurna. Dan aku telah genap menjadi bagian masyarakat. Sebagai kepala rumah tangga.

Diantara para tamu itu aku melihat teman-temanku, aku melambaikan tangan pada mereka. Aisya juga beberapa kali menganggukkan kepala dan tersenyum formal untuk menyapa teman-temannya. Adik iparku tampak asyik berbincang dengan temannya. Siska sendiri tidak nampak dihadapanku. Mungkin sedang berada didalam.

Aku menatap kearah Aisya yang sedang senyum-senyum sendiri. Aisya sedikit salah tingkah ketika menyadari aku memperhatikannya.

Aku mendekatkan diri ke telinga Aisya dan berbisik, “Nah, sekarang aku bisa mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu, istriku.”

“Aku juga mencintaimu, suamiku.” Bisik Aisya sambil tersipu.

Aku menggenggam tangannya dan berharap tidak ada yang sanggup melepaskannya. Aku mencintainya, sekarang aku benar-benar mencintainya tanpa sedikitpun rasa ragu. Kepadanya aku berani mempertaruhkan segalanya. Bahkan nyawaku sendiri. Tidak akan ada satupun wanita yang sanggup memikatku selain istriku. Dan tidak ada lagi wanita yang cantik dimuka bumi ini selain istriku. Aku akan mempersembahkan hidupku untuk membahagiakannya. Dan takkan kubiarkan seekor semutpun mengganggu keutuhan rumah tanggaku.

“Mas…” sapa Aisya lembut.

“Iya, istriku.”

“Kalau ini sebuah film, maka semua ini sudah selesai. Pernikahan adalah puncak kebahagiaan.”

“Iya. Tapi ini kehidupan nyata, istriku. Bukan film. Pernikahan ini bukanlah akhir. Justru sebaliknya, kita baru memulai. Mungkin nanti di antara kita akan ada perselisihan, pertengkaran, percekcokan dan semisalnya. Nanti akan ada banyak sekali masalah yang harus diselesaikan. Jika kita bisa menyikapinya, bisa saling mengerti dan memahami maka setiap masalah hanya akan berhembus lalu seperti angin sepoi.”

“Memang akan ada banyak masalah nantinya, mas. Tapi jangan khawatir, karna aku mencintaimu dengan tulus. Ini bukan lagi cinta semu yang pernah dirasakan oleh gadis labil bernama Aisya sewaktu SMA dulu. Cinta ini akan tetap bersemi meski ketika aku marah pada mas Arya, meski pada saat mas Arya tidak bisa memahamiku. Cinta ini akan tetap ada, karna cinta ini tulus karna Allah. Cinta ini suci dalam restu Ilahi dan dalam ucapan selamat dari para Malaikat. Karna itu cinta ini akan terus terjaga hingga akhir masa. Aku akan tetap mencintai mas Arya karna aku mencintai Allah, karna cintaku pada mas Arya adalah ibadah. Sementara tujuan Allah menciptakanku adalah untuk beribadah. Jadi aku tidak punya alasan untuk tidak mencintai mas Arya.”

Aku menggenggam tangan Aisya lebih erat, “jangan khawatir tentang beragam masalah yang akan datang karna mereka pasti akan tetap datang. Allah bersama kita. Allah akan membela kita. Aku akan tetap mencintaimu sebagaimana cinta Ali kepada Fatimah. Aku akan tetap mencintaimu hingga ujung usia. Hingga kulitmu telah keriput. Dan ketika Izroil menjemputku nanti aku akan menggenggam tanganmu, seperti yang kulakukan saat ini. Dan aku akan berkata padamu, aku menunggumu di Telaga Kautsar.”

Aisya tersenyum mendengarnya, lalu dia berkata, “Kemudian, aku akan menjadi bidadari syurgamu. Dan kita akan membangun kembali rumah tangga di syurga. Tempat yang hanya berisi kedamaian dan kebahagiaan. Dimana tidak ada lagi masalah hidup, tidak ada lagi kegelisahan dan tidak ada lagi kebencian.”

Aku memandang mata Aisya dengan keteduhan, Aisya membalas pandangan mataku dengan kesejukan. Dua insan yang saling menyinta dipersatukan oleh pernikahan. Bersama itu ditaburkan barokah dari langit.

“Kakaaakk…” terdengar suara Siska memanggilku.   

“Ada apa, Siska?” Tanyaku.

“Bukan kak Arya. Tapi kakak baruku, kak Aisya.” Komentar Siska.

Aku dan Aisya tertawa mendengarnya.

“Ada apa adikku?” Tanya istriku kepada Siska.

“Setelah ini kita foto bareng ya, kak? Nanti fotonya biar aku posting ke efbe.”

“Kenapa tidak dengan mas Arya?”

“Kalo fotoku dengan kak Arya kan sudah banyak, jadi sekarang aku pingin foto dengan kak Aisya. Boleh kan? Boleh kan? Pasti boleh dan harus boleh.”

Aisya tak kuasa menahan senyum mendengar celoteh Siska.

“Kenapa tidak foto bertiga saja?” Aku berkomentar.

“Pasti dong kak. Nanti ada fotoku yang berdua dengan kak Aisya, ada juga yang foto bertiga.” Jawab Siska.

“Baiklah adikku yang manis, setelah ini kita bisa foto-foto.” Aisya berkata pada adikku.

Siska tampak senang mendengarnya. Siska berlalu dari hadapan kami dengan bersenandung riang. Aku tersenyum geli melihatnya.

“Istriku…”

“Ada apa?”

“Nanti malam jalan-jalan yuk!”

Aisya tampak terkejut mendengarnya, “malam ini?”

“Iya. Aku ingin mengajak istriku berkeliling menikmati malam. Sudah lama aku ingin melakukannya. Dulu aku sering merasa iri tiap melihat muda-mudi berboncengan di malam hari untuk menikmati malam. Jadi aku ingin melakukannya juga.”

Aisya tertawa mendengarku, “ah mas Arya ada-ada saja. Baiklah mas, nanti kita berkeliling. Kita nikmati indahnya malam layaknya muda-mudi yang sedang berpacaran.”


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Goresan Izzah



                

              Awan mendung bergumul menjadi satu paduan. Gelap melingkup di langit sana, juga di langit hatiku. Gemuruh menggema, menggaung ke seantero kolong langit. Meneriakkan angkara kemarahan. Membuat bocah-bocah manusia menggigil takut dibawah hamparan selimut dengan kedua telapak tangan menempel di sisi telinga.

                Sebutir air melesat dari nirwana. Membelah angin. Jatuh pasrah menghujam bumi dan hancur berkeping. Dan tiba-tiba segerombolan besar butiran menyusul jatuh dengan serentak. Puluhan, ratusan, ribuan… oh bukan, bahkan jutaan butiran air langit berhamburan jatuh melingkupi bumi. Terus menerus tiada henti. Basahi kegersangan. Membuat rerumputan dan pohon bersorak sorai menyambut kedatangannya.

                Kurebahkan punggungku di sandaran kursi teras rumah dalam tatapan beku menatap hampar pelataran yang mulai menggenang. Gemeritik air hujan menabuh genting rumahku, hancurkan sepi. Sesekali angin bertiup kencang, membelai rambut hitamku dengan lancang. Nuansa dingin merasuk ke dalam sunsum tulangku, getarkan bulu roma. Jaket kulit mahal yang kupakai tak sanggup menahan terpaan musim.

                Manis melekat basahi lidah ketika Kopi panas kental menyentuh sensor lidahku. Hangat menerabas masuk ke usus membuat tubuhku dapat bertahan melawan serbuan dingin. Kuhambat udara di persimpangan paru-paruku dalam lima ketukan detak jarum jam. Lalu kuhembuskan dengan helaan nafas panjang. Otakku berpacu keras, berduel sengit dengan gelombang nafsu yang melingkupi.

                “Sepandai-pandai lelaki dapat takluk dihadapan sebodoh-bodoh wanita,” pesan Pak Ustadz masih melekat erat di benakku. Ya. Aku tahu itu. Aku paham akan hal itu. Bahkan sang Rosul tercinta seringkali berpesan kepada umatnya untuk berhati-hati terhadap godaan wanita.

                “Hati-hatilah kalian terhadap dunia. Hati-hatilah kalian terhadap wanita.”

                Jika otakku sehat dan nalar. Pasti aku akan menuruti nasehat-nasehat indah tersebut. Aku adalah seorang aktifis Islam. Pengemban risalah dakwah. Di langit aku memiliki kehormatan. Dimana para Malaikat membanggakanku. Dimana para bidadari langit terpesona olehku. Apakah aku begitu bodoh melepaskan mahkota kehormatanku itu hanya demi makhluk lemah bernama wanita?

                Nur. Berarti cahaya. Tapi Nur yang ini tidak menerangiku, justru keberadaannya bisa menjerumuskanku. Aku tahu, dia bukanlah kriteria yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Dia bukanlah seorang akhwat yang memiliki komitmen untuk memperjuangkan Islam. Paras wajahnyapun biasa saja. Ya, dia memang manis. Ya, dia memang mempesona. Entah ajian apa yang dia miliki sehingga banyak lebah mengerubunginya.

                Dan aku? Meskipun tidak secara terang-terangan, aku tidak bisa menafikkan perasaanku bahwa akupun terpikat olehnya. “Bodoh !!”, “Gila !!” umpatan-umpatan semacam itu sering terlontar dari akal sehatku. Namun aku menulikan diri dan bersikap masa bodoh.

                Aku bukan tidak tahu bahwa Nur adalah seorang gadis yang sering mempermainkan perasaan para lelaki. Sudah tak terhitung berapa banyak pria merana karna tingkahnya. Aku bukan tidak pernah melihat Nur sering bergandengan tangan dengan lelaki. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dia sering berboncengan dengan pemuda yang selalu berganti wajah dan namanya.

                Apakah aku begitu bodoh membiarkan diriku, seorang ihwan yang sering mengikuti kajian dan aktif dalam beragam gerakan dakwah, teronggok tak berdaya di dalam rak tempat Nur mengumpulkan barang koleksinya? Entah setan apa yang telah memperdayakanku hingga aku bisa sebegini buta. Bahkan Samson yang perkasa bisa roboh dihadapan Delilah. Apalagi aku yang ringkih ini.

                Dadaku bergemuruh. Sesak terasa menghimpit paru-paru. Kututup kelopak mataku sepersekian detik, ketika mata terbuka, lembab membungkus kornea mataku. Seiring jatuhnya hujan ke muka bumi, jatuh pula setetes embun dimataku. Mengalir perlahan menyisir pipiku, bersama hembus nafasku yang mulai sesenggukan.

                Bagaimana dengan kedudukan muliaku di langit? Para Malaikat yang dulunya membanggakanku pasti kini mencemoohku. Mahkota izzah-ku telah direnggut. Bidadari langitpun kehilangan selera terhadapku. Tahtaku dilangit telah dicabut. Kini aku tidak lebih mulia dari seekor cacing yang menggeliat di genangan selokan.

                Hembusan alam menyiksaku dalam kebekuan. Aku tak peduli. Bahkan jika aku sakit karnanya, aku tak peduli. Biar saja tubuh dan jiwaku digerogoti kesenduan kemudian terbaring tak berdaya. Aku tak peduli. Aku benar-benar tak peduli lagi.

                “Nur…” aku menggumam lirih menyebut namanya, si algojo haus darah yang telah menorehkan beragam luka di hatiku. Yang menghancurkan harga diriku. Yang menjatuhkan martabatku dilangit dan di bumi. Seorang makhluk tak berdaya bernama wanita telah sukses merobohkanku, seorang pengemban risalah yang biasa berteriak lantang di podium.

                Sakit sekali dada ini. Ada apa denganku? Padahal tidak ada hubungan yang istimewa antara aku dengan Nur. Aku patah hati padahal aku bukan orang yang baru putus cinta. Nur bahkan tidak tahu bahwa namanya telah melekat erat dihatiku. Nur sama sekali tidak tahu menahu bahwa keberadaannya telah menghancurkanku.

                “Aku adalah sahabatmu,” suara Nur yang begitu merdu masih terngiang di telingaku.

                “Teman biasa. Tidak lebih dan tidak kurang.” Jawabku.

                Nur tersenyum manis, membuai diriku melambung ke gerbang nirwana. Lalu tangan kanannya dijulurkan padaku agar aku bisa menjabatnya sebagai tanda persahabatan.

                “Maaf. Bukan muhrim.” Jawabku singkat, aku mencoba mengusir rasa bersalah karna menolak menjabat tangannya. Nur menarik kembali tangannya dan tersenyum maklum.

                Bayang dirinya senantiasa mengusik malam-malamku. Tak bisa kusangkal bahwa ketika aku begitu dekat dengannya, aku merasa nyaman. Ada sedikit rasa gugup memang, meski aku selalu menyembunyikannya dan berusaha untuk bersikap wajar. Mungkin karna aku jarang bergaul dengan kaum Hawa, maka hal yang biasa saja menjadi begitu berkesan bagiku.

                Dophamine-ku selalu mengaliri darahku ketika terbayang pikiranku padanya. Candu ini jelas lebih kuat dari candu Narkoba, membuatku sakhaw akan asmara. Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, bahkan Sholatpun tak bisa khusyu’. Selalu wajahnya yang hadir di pelupuk mataku.Namun, sekuat tenaga  aku berusaha agar tidak seorangpun tahu seberapa besar perasaanku pada Nur. Biarlah aku pendam sendiri. Biarlah rasa ini mengeroposkan kekuatanku tanpa ada yang tahu.

                Tidak mungkin aku menceritakan kebodohanku ini pada teman-temanku yang rata-rata adalah aktifis dakwah yang hebat. Mau ditaruh dimana wajahku jika mereka tahu bahwa aku yang aktif meneriakkan syiar Islam jatuh hati pada seorang playgirl? Aku mencoba bungkam  seribu bahasa tatkala mereka bertanya tulus tentang permasalahanku. Padahal ingin sekali aku menceritakan masalahku untuk mengurangi beban pikiranku yang terlalu berat.

                “Shofwan, kok kamu sering gak masuk. Ada apa?” begitu bunyi SMS yang masih belum ku delete dari inbox. SMS dari Nur ketika aku sering tidak masuk Sekolah. Aku tidak membalas SMS itu, padahal ingin sekali aku mengatakan, “aku sakit gara-gara kamu, tahu!!”

                Ketika aku bertemu dengannya, aku berusaha mengacuhkannya agar dia menjauh dariku sehingga pikiranku tentangnya pudar. Dengan begitu aku akan kembali pada kehidupanku yang dulu. Tapi ketika dia benar-benar bertemu denganku, aku luluh juga. Keceriaannya, senyumannya, tingkah polahnya membuatku selalu gagal untuk menjauhinya. Aku ingin dekat dengannya. Ingin selalu dekat dengannya. Karna tanpanya hidupku kosong. Karna tanpanya hatiku hampa.

                Seperti biasa, aku hanya menanggapinya sepatah – dua patah kata. Meski sebenarnya aku ingin sekali bisa berlama-lama dengannya. Ingin sekali aku menambah topik pembicaraan ketika pembicaraan kami hampir usai. Tapi tidak mungkin. Aku harus menjaga namaku sebagai seorang aktifis. Jangan sampai fitnah terhembus ke lubang telinga anak-anak manusia.

                Hidupku menjadi terasa begitu sepi tanpa keberadaannya. Rasa rindu yang tak wajar sering merasuk lewat mimpi malamku. Kadang rindu itu sedikit terobati ketika di pagi Shubuh HP-ku bergetar dan kubaca sebuah SMS singkat dari Nur, “bangun kawan, sudah shubuh nih.”

                Aku tidak membalas SMS itu. Aku tidak boleh membalasnya. Berkali-kali SMS darinya masuk namun tidak kubalas. Kadang menanyakan kabar. Kadang hanya mengirim kata-kata bijak pembangkit semangat. Mungkin karna bosan, dia berhenti mengirim SMS padaku. Selama tiga hari tidak ada SMS masuk darinya dan tiba-tiba hatiku merasa galau. Entah kenapa, aku sangat takut jika dia mulai melupakanku.

                Tanpa tahu mengapa, tiba-tiba terkirim SMS dari HP-ku, hanya sebuah kata-kata bijak. Seharusnya aku tidak boleh mengirim SMS tidak penting kepada seorang gadis, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku merindukan SMS darinya. Sejak itu, SMS darinya mulai berdatangan lagi. Kali ini aku terkadang membalasnya dengan ramah.

                Hati nuraniku kubiarkan mencaci makiku ketika aku mulai sering bermain SMS dengannya. Aku mulai mencoba dekat dengannya. Kadang kami chatting, kadang lewat SMS. Namun ketika kami bertemu secara langsung, aku diam seribu bahasa. Aku hanya berani bergerilya di dunia maya.

                Akupun mulai mengenalnya lebih jauh. Tentang emosinya, tentang cita-citanya, tentang kesedihannya. Akupun mulai membuka diriku dan menceritakan beberapa hal tentang diriku. Kami menjadi akrab di dunia maya, meskipun aku tetap menjauh di dunia nyata. Tidak boleh seorangpun tahu. Jangan sampai racun-racun fitnah terhembus.

                Pernah ketika di pagi hari hatiku berbunga, tiba-tiba sorenya hatiku remuk redam. Tentu saja bagi Nur, bergaul akrab dengan para pemuda adalah perkara biasa. Bergandengan, merangkul dan sentuhan fisik dengan lawan jenis adalah prilakunya sehari-hari. Tapi aku memandangnya sebagai suatu perkara besar dan berat. Aku tidak tahu perasaan macam apa ini. Yang pasti, ada rasa cemburu yang luar biasa. Sementara itu, Nur tidak tahu menahu perasaanku. Dia tidak tahu bahwa dia menghancurkanku karna perbuatan yang dia anggap biasa saja.

                Aku marah. Tapi pada siapa. Aku pun mulai menjauhi Nur. Membiarkan diriku disiksa oleh suara-suara nurani. Kali ini aku tidak bisa membungkamnya, kali ini aku tidak bisa pura-pura tidak mendengar. Hatiku sudah terlalu sakit dan kecewa. Tidak mungkin. Tidak mungkin aku mencintai gadis seperti Nur yang bahkan tidak bisa menjaga izzah-nya. Yang bertabaruj. Yang dengan bebas tanpa rasa bersalah ikhtilat dengan lawan jenis.

                Pendamping hidupku adalah kehormatanku. Jika aku terpikat oleh gadis semacam Nur, itu berarti aku merendahkan izzah-ku. Aku tidak rela namaku tercoret dari daftar buku langit. Aku adalah seorang pembawa risalah Islam. Allah membeli jiwaku dengan kemuliaan, bagaimana mungkin aku malah menjual jiwaku dengan harga rendah kepada playgirl macam Nur. Itu terlalu bodoh.

                Rintik hujan diam membisu. Langit usai tunaikan tugasnya. Rerumputan pun sudah kenyang menghirup nutrisi. Samar-samar terang mentari mulai mengintip dari celah mega, menyemburatkan cerah warna pelangi. Begitu elok nan mempesona.

                “Langit seolah kembali hidup setelah mati,” gumamku, “begitu pula kehidupanku. Aku harus bangkit kembali setelah terpuruk. Aku tidak boleh terlalu lama terkungkung dalam kesedihan. Ada banyak hal yang harus dikerjakan. Tugas-tugas dakwah menumpuk. Menunggu untuk diselesaikan.

                Seiring waktu berlalu, dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak berhubungan lagi dengan Nur. Aku pindah ke Sekolah lain. Aku mengganti nomer HP-ku. Memblokir nama Nur dari daftar pertemanan di FB. Meski sakit terasa merobek hatiku. Meski nafsu ini terus meronta dalam jeritan, mengganggu ketenangan lelapku.

                Hingga akhirnya akupun terbiasa tanpa keberadaan Nur. Aku berhasil melupakannya. Aku tidak peduli bagaimana perasaan Nur. Aku tidak peduli jika dia sakit hati padaku karna aku memutuskan komunikasi dengannya. Sekarang aku benar-benar memfokuskan pikiranku dengan permasalahan ummat.

                Aku kembali mengeluarkan pedang dari sarungnya. Beradu denting dengan virus pemikiran perusak aqidah. Menggempur dan menahan arus Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme yang semakin meluas hingga pemukiman. Terkadang kalah, terkadang menang. Namun aku terus berusaha bangkit tiap terjatuh. Karna Allah dan Rosul bersamaku.

                Para malaikat kembali mempopulerkan namaku, memperbincangkanku siang malam dalam majelis. Sekumpulan bidadari langit berkerumun melihat aksiku dan terpukau olehku. Tentu saja, aku masih belum ada apa-apanya. Apalagi jika dibandingkan sahabat Mush’ab bin Umair. Jutaan orang sepertiku berkumpul menjadi satu sekalipun belum ada sebutir debu derajatnya dibandingkan beliau.

                Bumi tiada henti berputar pada porosnya. Hingga tahun Masehi berganti. Kulepaskan bangku SMA bersama datangnya hari kelulusanku. Nilaiku membuatku bernafas lega. Mantap kulangkahkan kakiku memasuki gerbang sebuah Universitas ternama dan menjalani seleksi.

                Akhirnya tiba hari yang dinanti. Dengan ritme nafas yang masih berantakan dan sekujur tubuh yang banjir peluh aku berlari menuju papan pengumuman yang ramai dipadati calon Mahasiswa baru. Aku merangsek masuk untuk melihat lebih dekat. Dengan harap-harap cemas kutelusuri barisan nama. Senyum mengembang menghias bibirku tatkala kudapati namaku tercantum didalamnya.

                “Sofwan. Itu benar kau kan?” tiba-tiba suara merdu yang sangat kukenal terdengar dari arah belakang. Jantungku melompat. Ketakutan mencekam. Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutanku. Aku menoleh kebelakang dan mendapatinya. Nur Alissa.

                Wajah itu masih sama. Begitu manis dan memikat. Ada rasa senang. Ada rasa bersalah. Rasa ini campur aduk seperti adonan. Ketenangan dan rasa nyaman menaungi gemuruh hatiku. Tatkala kulihat seberkas senyum di wajahnya yang teduh, bala tentara iblis melepaskan rantai-rantai nafsu satu demi satu. Sehingga nafsu ini bebas berkeliaran tak tentu arah.

                Samar-samar kulihat utusan Dewi Asmara mengintaiku dari balik pepohonan. Bersiap melontarkan panah asmara ke jantung hatiku. Semerbak harum berhembus bersama alunan sepoi. Menyemikan taburan bunga di lubuk hatiku. Panah Cupid dilontarkan tepat ke jantung hatiku. Dan syetan-syetan laknat tertawa senang tatkala akal sehatku terhalang kabut hitam nan pekat.

                “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari fitnah dunia. Aku berlindung kepadamu dari fitnah wanita.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tarian Dalam Kanvas



               Aku mematung, terhanyut dalam keindahan pesona dalam kanvas. Indah sekali, kesannya begitu hidup dan memiliki jiwa. Matahari dengan sapuan warna orange dengan gradasi senja yang begitu memukau. Dibawahnya hamparan rumput dengan sapuan warna hijau pekat dengan garis-garis tipis dipinggirannya. Sebenarnya lukisan itu sudah cukup indah. Pergiliran gradasi warna yang menegaskan pencahayaan yang begitu detail. Siluet bebatuan yang membelakangi cahaya redup mentari sore.

                Namun pohon itu terasa mengganggu. Kenapa dia harus meletakkannya disitu? Kenapa dia merasa perlu untuk melukisnya? Apa maksudnya? Pohon tua itu merusak nuansa elegan dalam lukisan itu. Keberadaannya justru membuat kabur tema yang dibuat. Kupandangi pohon tua yang berdiri kokoh di atas rerumputan itu. Goresan kuasnya terkesan kasar, campuran warnanya terlalu tebal, namun detail teksturnya begitu memukau.

                Pohon itu seolah melambangkan kemarahan yang terpendam. Itu tampak dari akar-akarnya yang menyeruak di atas permukaan dengan gumpalan tanah yang menempel. Akar pohon itu merusak tanah disekitarnya, rerumputan yang berada disekitarnya nampak layu. Seolah pohon itu hendak menyerap semua keindahan dan meleburkannya.

                Seekor burung gagak bertengger di dahan pohon yang telah kehilangan seluruh daunnya itu. Memberikan kesan yang begitu angker. Tapi ini aneh, tentu saja ini aneh. Karna begitu kontras dengan pemandangan siluet sore yang elegan. Cara menggoreskan kuasnya pun berbeda. Seolah lukisan ini dilukis oleh dua orang yang berbeda.

                Aku meraba permukaan kanvas itu. Merasakan teksturnya dipermukaan kulitku. Aku merasakan sapuan kuas yang begitu lembut pada latar pemandangan sore. Benar-benar dilukis dengan seluruh jiwa. Ada rasa kasih sayang, pengertian dan kelembutan dari caranya melukis. Namun begitu aku meraba goresan kuas pada pohon itu aku tersentak, secara reflek kuangkat tanganku. Menakutkan sekali. Perasaan yang begitu campur aduk dirangkum jadi satu kesatuan hasilnya begitu kacau. Ada kebencian di dalamnya, ada kesedihan dan ada keputusasaan.

                “Ada apa Erin?” Retno bertanya padaku begitu melihat tingkahku.

                “Oh tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya terkesan dengan lukisan ini. Kau tahu siapa yang melukisnya?” tanyaku.

                “Oh itu lukisan Sena. Itu lho Mahasiswa seni rupa yang selalu bikin ribut suasana kelasnya. Memangnya lukisan itu menarik ya? Menurutku sih biasa saja.”

                “Retno, kau ini. Tau apa kau tentang seni?” Jawabku, “aku pernah melihat beberapa karya lukis dari London, dan lukisan ini menurutku juga cukup layak disebut sebagai mahakarya. Aku jadi penasaran dengan orang bernama Sena itu.”

                “Kau ingin bertemu langsung dengannya?”

                “Ya. Tentu saja.”

                “Kalau jam segini sih biasanya dia asyik nongkrong sama teman-temannya di Kantin. Perlu kuantar ketempatnya?”

                “Bolehlah. Setidaknya aku ingin tau yang mana orangnya.”

                Suasana Kantin begitu ramai, hilir mudik para pelanggan yang rata-rata adalah Mahasiswa kampus ini seolah tidak ada habisnya. Aku menyapa beberapa teman yang kebetulan berpapasan denganku. Ada juga beberapa pemuda yang hanya berani mencuri pandang padaku. Tentu saja mereka tidak berani sok akrab denganku karna kedudukan ayahku sebagai Walikota yang cukup disegani.

Aku melayangkan pandangan keseluruh penjuru kantin dan kulihat di salah satu meja tampak berkerumun para pemuda yang asyik membuat kebisingan. Tampak seorang pemuda memimpin obrolan sementara yang lainnya serius mendengarkan. Beberapa detik kemudian secara serentak mereka tertawa terbahak-bahak.

“Itu dia yang bernama Sena.” Retno menunjuknya dengan buku yang ada ditangannya. Aku menatap pemuda bernama Sena itu. Apa benar dia yang bernama Sena? Benarkah lukisan tadi dia yang membuatnya? Sepertinya tidak melukiskan karakternya. Kukira dia adalah seorang pendiam dan tidak banyak bergaul. Tapi ini menarik.

Aku menghampiri salah satu karyawan Kantin dan memesan Jus Alpukat. “Tolong berikan ini pada orang itu ya? Sena. Tahu kan?” karyawan itu mengangguk.

“Katakan padanya bahwa aku… Erin menitipkan salam untuknya.”

Setelah aku membayar dan memberikan tip untuk karyawan Kantin itu aku langsung pergi meninggalkan ruangan bersama Retno. Aku tidak harus bertemu langsung dengannya saat ini. Tentu saja Sena sudah mengenalku sebagaimana seluruh Mahasiswa di Kampus ini tahu siapa dia yang bernama Erin.

****

Mereka sangat berarti bagiku. Lukisan-lukisan ini, yang kupajang rapi mengelilingi perpustakaan pribadi keluargaku. Meskipun untuk mendapatkan salah satunya saja aku harus menguras tabunganku. Tapi memang begitulah, hanya orang yang berani berkorban saja yang bisa memahami sebuah karya seni. Dan jika harus dinilai dengan uang, maka karya seni itu tidak bisa dinominalkan. Mereka melukisnya dengan jiwa maka aku harus menghargainya semampuku.

Aku menatap sebuah lukisan gadis kecil dihadapanku. Lukisan yang bagus. Nampak latar belakang hujan rintik-rintik yang membasahi tubuh gadis kecil yang berpakaian usang. Aku menatap mata gadis kecil itu namun aku tidak mendapatkan jiwa didalamnya. Lukisan yang hanya indah dipandang tapi tak bisa diresapi. Aku hanya melihatnya sebagai zombie, tidak ada kehidupan didalamnya. Tidak nampak rangkuman emosi dari si pelukis. Tapi banyak orang awam memuji lukisan ini. Mereka yang hanya melihat dari apa yang terlihat.

Sebenarnya aku tidak tertarik dengan lukisan ini. Tapi ini adalah hadiah ulang tahun dari kakakku, dan dia menghargainya terlalu mahal. Jadi aku berkesimpulan bahwa letak artistiknya ada pada pengorbanan kakakku dalam mencurahkan kasih sayangnya padaku dengan menghadiahkan lukisan yang cukup mahal ini padaku. Bukan pada lukisannya. Kesan didalamnya. Itulah yang menjadi keindahannya. Walaupun tetap saja akan lebih baik jika kakakku mengerti sedikit tentang jiwa seni sehingga aku tidak harus memajang mayat hidup ini disini.

Aku menduga, orang yang melukisnya tidak begitu mengerti tentang seni. Dia hanya memfokuskan diri menciptakan sebuah nuansa keindahan, meski tanpa jiwa. Mungkin dia mengira bahwa melukis adalah profesi bisnis sehingga dia hanya berpikir bahwa yang terpenting bagi lukisan adalah segera terjual dan berganti menjadi gemerincing uang. Dan keinginannya jelas terkabul. Orang-orang awam pastilah akan terpukau dengan keindahan lukisannya.

Sedangkan lukisan disebelahnya, mungkin tidak begitu menarik bagi kebanyakan orang. Hanya goresan-goresan cat air yang tak jelas maksudnya. Warna-warna bercampur mengotori kanvas. Tapi lukisan inilah yang sebenarnya bagus. Aku bisa merasakan sentuhan emosinya. Jiwanya. Harapannya.

Lukisan ini sangat bermakna bagiku. Setiap aku melihatnya seolah aku melebur bersamanya. Bersama kenangan dan harapannya. Lukisan ini sebenarnya bisa sangat mahal jika dijual. Tapi pelukisnya menghadiahkannya padaku. Baginya, penghargaanku pada lukisannya dan kemampuanku dalam menjiwainya adalah pembayaran yang cukup untuk melunasinya. Sebenarnya aku sudah berkali-kali memaksanya untuk menerima uang dariku tapi dia menolaknya. Melihat keteguhannya untuk tidak menerima uang dariku, aku jadi mengerti bahwa dia memiliki persepsi seni yang lebih dalam.

“Biarkan seni ini menjadi semakin bermakna. “ Katanya, “suatu ketika aku pasti mati tapi karya seni yang aku buat akan abadi. Maka biarkanlah lukisan ini menjadi semakin bermakna. Berapapun uang yang diberikan aku tidak akan menjual lukisan ini karna bukan untuk uang lukisan ini kubuat. Aku merangkum kehidupanku dalam lukisan ini, merangkum seluruh kenangan. Merangkum kesedihan dan kebahagiaan menjadi satu di dalam lembaran kanvas. Satu-satunya yang kuinginkan adalah keabadian dalam lukisanku ini. Keabadian dalam kenangan bagi mereka yang mengerti seni. Ya, aku butuh uang untuk makan dan yang lainnya. Karna itulah aku menjual lukisan-lukisanku dengan nominal. Tapi bukan yang ini. Karya seni didalamnya akan luruh jika aku menominalkannya.”

Keabadian. Ya, jiwa itu abadi namun raga terikat dengan usia. Kematian raga bukanlah berarti kematian bagi jiwa. Bagi jiwa yang dititipkan dalam sebuah karya seni maka dititipkanlah keabadian dalam goresan kanvas. Meski telah lebur jasad bersama tumpukan tanah namun seni yang dibuat dengan sepenuh jiwa akan tetap hidup. Abadi. Selamanya.

Lukisan adalah sebuah rangkaian kehidupan dari lembaran emosi yang tidak dapat dituangkan melalui kata-kata. Mereka memadukan keindahan bersama buku harian kehidupannya atau filosofi kehidupannya dalam bingkai kanvas. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan emosinya. Hanya rasa sebagaimana adanya. Tanpa kalimat dan tanpa kata.

Dengan melukis, orang-orang melepaskan beban hidupnya. Mengungkapkan emosi yang tak bisa diungkap dengan kata. Mencoba membebaskan diri dari belenggu kegilaan. Tentu saja, ketika dunia tidak bisa memahami mereka, mereka bisa lebur dalam kegilaan. Dan saat itu, hanya sebuah kanvas yang dapat memahaminya. Dia akan membiarkan kuas ditangannya menari mengungkapkan rasa didalam dadanya.

Aku memandangi beberapa koleksi lukisanku satu demi satu dan melebur dalam tiap emosinya. Menyelami beragam kehidupan didalamnya. Setiap darinya memiliki kesan tersendiri. Kupejamkan mataku sejenak dan membiarkan jiwa ini hanyut dalam kumpulan imajinasi. Terbang ke angkasa menembus cakrawala harapan. Menuruni lembah keputus asaan. Hanyut dalam sungai kepasrahan dan kembali ke dunia nyata dengan air mata meleleh membasahi pipi.

Sejenak kupandangi salah satu bagian dinding yang masih kosong. Aku merenung sejenak dan tersenyum, “aku ingin membeli lukisan pemuda yang bernama Sena itu. Harus.”

****

Sanggar seni ini sudah sepi, hanya ada Sena yang sedang sibuk dengan lukisannya. Dia membelakangiku dan tidak menyadari keberadaanku yang sedang mendekatinya. Dia tampak begitu hanyut dengan pekerjaannya. Aku memandang pekerjaannya. Lukisan yang bagus dan memiliki jiwa.

Sapuan warna biru mendominasi kanvas. Campuran warnanya begitu halus. Di beberapa bagian dia memberikan bercak warna ungu dan merah dengan goresan kuas melengkung indah seperti ukiran. Di salah satu sisi dia melukis mata dengan detail yang menjadi tema dalam lukisannya. Sena sedang asyik menyapukan warna biru gelap dibagian atas kanvas, begitu gelap warnanya hingga menyerupai warna hitam. Lalu dengan tangkas dia mencampur warna dan memberikan bercak-bercak putih terang diatas warna biru gelap. Lalu dia goreskan warna kuning melingkar secara spiral yang tidak teratur sementara disekelilingnya diberikan pergantian gradasi warna dari terang ke gelap.

Aku mendesah nafas panjang seketika memahami emosi apa yang terkandung didalamnya. Sena mendengarnya dan langsung menoleh kepadaku. “Oh, Erin. Maaf, aku tidak menyadari kedatanganmu. Jika boleh tahu, angin apakah yang membawamu kesini?”

Aku diam sejenak, memandang matanya dan tersenyum, “maaf, aku jadi mengganggu pekerjaanmu, Sena. Aku terkesan dengan lukisanmu yang kau pajang di ruang pameran. Jadi aku ingin memilikinya.”

Sena tersenyum, sebuah senyum formal dan sopan yang tidak begitu alami, terlihat dari urat bibirnya yang halus terlihat, “uhm, sebelumnya aku berterima kasih atas Jus Alpukat yang kau berikan kemarin. Rasanya enak. Apalagi mengingat itu hadiah darimu. Dari seorang putri Walikota. Itu menjadi suatu kehormatan tersendiri bagiku.” Sena diam sejenak untuk berpikir, “lukisan itu, apakah begitu berharga bagimu?”

Aku mengangguk, “lukisan itu menarik. Kau memadukan nuansa kebencian ditempat yang tidak seharusnya. Itu menjadi keunikan tersendiri. Lukisan itu menggambarkan suatu kepribadian yang membingungkan untukku. Aku ingin bertanya sedikit, bolehkah?”

Sena tersenyum dan matanya sedikit menyipit, sekaligus itu menjadi pengganti kalimat, “ya.”

“Perlukah ada kebencian dalam kehidupan ini? Bukankah indah jika dalam hidup ini hanya ada kasih sayang dan rasa cinta?”

“Erin. Mungkin kau tidak mengerti. Kau yang dari kecil selalu hidup dalam limpahan kasih sayang dan hidup berkecukupan tidak akan mengerti tentang apa itu kebencian.” Sena meletakkan kuasnya di meja kecil dan memutar kursinya menghadap padaku. “Memang benar bahwa Seni itu adalah kebebasan untuk berimajinasi, dan kebanyakan orang menggunakan imajinasinya untuk lari dari kebencian. Tapi itu adalah suatu hal yang tidak semestinya. Itu namanya mengingkari kenyataan. Karnanya, melalui lukisan itu aku sedikit mengajarkan arti sebuah kebencian di atas kehidupan yang dipenuhi oleh kelembutan dan kasih sayang.”

Sena berdiri lalu mengambilkan kursi untukku. Aku duduk setelah dipersilahkan. “Tapi kenapa?”

“Karna bagi mereka yang pernah mengenal arti sebuah kebencian, arti sebuah kasih sayang itu menjadi semakin bermakna. Ya. Mungkin beberapa orang akan menyayangkan aku memberikan nuansa kebencian diatas tema lukisan yang dipenuhi oleh kasih sayang. Mungkin orang akan mengira bahwa aku berusaha merusak seluruh keindahan yang dengan susah payah kubuat dan menggantikannya dengan kebencian dan keputus asaan. Seolah aku merusak citra seniku sendiri.”

“Tidak Sena. Lukisanmu bermakna. Aku menyukai cita rasa didalamnya. Hanya saja aku merasa perlu untuk bertanya. Menurutmu, perlukah adanya kebencian didunia ini?”

“Tidak. Tentu saja. Hanya saja itu tidak mungkin kecuali di syurga sana. Mencoba membohongi diri dengan angan-angan hilangnya kebencian dari kehidupan adalah bodoh. Karna itu manusia perlu melihat realita hidup agar bisa menyesuaikan. Cobalah lihat di bangsal-bangsal RSJ disana, kenapa mereka disana? Karna mereka mencoba lari dari kenyataan, mencoba membohongi diri sendiri dan hidup dalam imajinasi yang mereka buat sendiri. Sebuah dunia imajinasi yang begitu indah sehingga mereka betah tinggal didalamnya dan tidak mau hidup didunia nyata yang keras.”

“Lukisan itu. Bagaimana kau membuatnya?” tanyaku.

“Aku sendiri tidak menyadarinya Erin. Aku hanya melebur bersama jiwaku. Aku hanya ingin melukis keindahan, mengajarkan manusia untuk memahami indahnya dunia melalui seni. Namun tiba-tiba tanganku bergerak sendiri dan melukiskan pohon kebencian itu. Itu bukan keinginanku Erin. Pohon itu membuatku takut. Lukisan itu adalah kejujuran dari perasaanku dan akupun menyadari ada kebencian dan kemarahan dalam diriku. Suatu hal yang asing bagiku tapi sekaligus begitu akrab.”

Aku diam saja mendengarkan.

“Aku selalu berusaha untuk bahagia dan membuat orang lain bahagia. Aku ingin mempersembahkan keindahan bagi dunia. Namun ketika melukiskan keindahan maka kenangan-kenangan itu kembali, kenangan buruk dimasa laluku. Penghianatan, penghinaan, kesedihan dan kebencian merasuk jelas ke alam imajiku. Aku selalu berusaha melupakannya dan berpura-pura hal itu tak pernah terjadi tapi tetap saja hatiku tak bisa berbohong pada diriku. Kebencianku yang selama ini kupendam akhirnya terlihat begitu jelas ketika aku melihat goresan kasar dalam kanvasku.”

****

Aku ingin melukis. Aku ingin lebih dalam mengenal diriku dan merangkumnya dalam sebuah kanvas. Aku berada didalam sanggar seni keluargaku, bertemankan keheningan. Kupejamkan mataku dan memulai relaksasi. Satu tarikan nafas lembut dan panjang disusul hembusan perlahan. Kutajamkan pendengaranku dan berkonsentrasi, sayup-sayup terdengar suara kipas angin, makin lama suara itu semakin keras dan semakin keras.

Terdengar lagi suara tetesan air dari arah dapur. Lalu detak jarum jam menggema didalam kepalaku. Begitu keras. Suara-suara tadi bercampur didalam kepalaku, berdentum dan saling beradu. Keheningan pun pecah oleh keramaian dan bercampur menjadi melodi.

Tiba-tiba terdengar suara musik yang mengalahkan semua suara. Sebuah musik klasik dari DVD yang sudah kusetel dengan timer. Musik itu mengalun begitu lembut membelai syaraf-syaraf imajiku. Membawaku terbang mengelana menembus batas-batas rasio. Bola mataku bergerak-gerak (Rapid Eye Movement) sebagai bagian efek penurunan gelombang otak menuju gelombang Theta dan memasuki mode hypnosis. Ketika aku berada dalam masa ini maka suara sekecil apapun menjadi sangat sugestif.

“Kau adalah angin, mengembara menyisiri lembah-lembah kehidupan.” Sebuah suara mengomandoku, suara dari DVD, dan akupun hanya bisa pasrah mengikutinya. Aku mengosongkan pikiranku, menghilangkan kenanganku sebagai manusia dan menjadi angin. Aku berhembus menyisiri padang rumput, mengukir riak dalam genangan, membelai lembut dedaunan.

Aku terus mengikuti suara-suara sugestif itu. Terbang membelah awan dan turun menghujam menghempas bumi. Lalu aku kembali menjadi diriku. Beragam kenangan menjejali kepalaku, begitu jelas dan begitu nyata. Rasa sakit, kecewa, gelisah, marah, dan bahagia datang silih berganti. Aku membedah diriku, membedah kekuatan imajinasiku sebagaimana Michaelangelo membedah mayat demi menciptakan mahakarya.

Waktu terus berlalu hingga satu jam telah berlalu, kemudian alunan musik berhenti sebagai tanda usainya masa relaksasi. Aku kembali dari masa terhipnosis dan membuka mataku. Kudapati keringat telah membanjiri tubuhku, nafasku tersengal-sengal. Beragam memori yang bergiliran masuk kedalam kepalaku cukup menguras tenagaku. Aku langsung berdiri dan mengambil air minum.

                Kenangan tadi masih menghujam kuat didalam kepalaku. Beragam emosi yang berkecamuk bergelut didalam diriku. Aku segera menghampiri kanvas dan mencampur warna. Lalu tertorehlah goresan-goresan kuas didalam kanvas yang mewakili beragam emosiku. Butuh waktu 3 hari untukku menuangkan beragam emosiku sehingga nampaklah sebuah lukisan yang melambangkan bahwa betapapun banyaknya masalah hidup semua pasti akan berakhir jika manusia percaya pada janji Tuhan. Aku tersenyum melihat tunas bunga Tulip berwarna cerah didalam kanvas yang melambangkan sebagai tunas harapan. Tunas itu berdiri kukuh seolah tersenyum, diatas reruntuhan puing bangunan dan serakan pecah belah. Begitu kontras dengan tema lukisan yang melambangkan kesedihan.

                Aku akan memajang lukisanku ini disamping lukisan Sena. Lukisanku adalah kebalikan dari lukisannya. Sena melukiskan kebencian yang menghancurkan segala keindahan, sedangkan aku melukiskan keindahan yang akan menghancurkan segala kebencian. Lukisan itu kuahiri dengan goresan kuas warna hijau terang dengan kalimat dari janji Tuhan, “sesungguhnya setelah kesukaran akan datang kemudahan.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS