Senandung Kerinduan





Mendung mengambang memayungi penghuni alas jagad dalam kesuraman. Angin berhembus mengalunkan dentang kesunyian bersama taburan debu. Kesenduan mengiring dalam suara rintik gerimis basahi permukaan.

Bersama keheningan sore nan kelabu, seorang pemuda duduk merenung di bangku teras rumahnya. Seluruh akal dan pikirannya telah terbawa ke alam fana yang penuh khayalan. Gelora hasrat muda yang haus akan cinta membuatnya terpasung dari dunia nyata.

Cinta, satu kalimat ini memang telah banyak membuat kaum muda menelantarkan logikanya. Namun, logika yang tersisih memang tak selamanya bisa dipandang buruk, karna terkadang hidup di dunia khayalan memang lebih terasa nyaman daripada alam realita yang seringkali menyakitkan. Sehingga tak jarang akal dibungkam hanya demi memuaskan hasrat yang tak terlampiaskan.

Mungkin, itulah yang terjadi pada Fuad. Gelora asmara telah membiusnya dalam tidur panjang yang seolah tiada berakhir. Mimpi-mimpi kosong dan penuh kedustaan menyelubungi alam pikirannya sehingga membuat dirinya larut dalam kemabukannya.

Bayangan wajah gadis elok nan menawan hati menari-nari di dalam kepalanya. Kenangan-kenangan kecil yang tak seberapa membuatnya terbuai. Sedikit sapaan dan sedikit senyuman dari seorang primadona kampus yang bernama Irma sanggup membuat hati Fuad berbunga-bunga selama seminggu.

Siapa mengira bahwa pemuda pendiam dan jarang bergaul seperti Fuad bisa jatuh cinta? Namun, sihir wanita terbukti lebih ampuh dari mantra seribu penyihir, hal ini tidak disangkal oleh siapapun yang pernah terbuai asmara.

“Ya Robbi, apakah salah jika aku jatuh cinta? Apakah salah jika aku mendengarkan apa yang diucapkan oleh hati kecilku? Bukankah mencintai itu fitrah? Dan apakah manusia bisa hidup dengan mengabaikan fitrahnya? Tidak… kurasa tidak. Tapi, aku bingung ya Robb. Kumohon… beri aku jawaban.”

“E ehm,” Suara Pak Rendi membuat Fuad hampir melonjak kaget, sontak wajah Fuad memerah begitu menyadari bahwa ternyata sedari tadi ayahnya mendengar keluh kesahnya, “Apakah pantas bagi seorang pria sejati merengek mengemis cinta seperti itu, Fuad?”

“Eh, ayah…” Fuad salah tingkah.

“Apakah benar kau mencintainya?”

Fuad merenung sejenak sampai akhirnya dia mengangguk malu-malu.

“Jika kau memang mencintainya maka ayah akan mendukungmu, namun apakah kau sudah merasa pantas untuk mencintainya?”

“Aku tak tahu ayah, mungkin hanya cinta yang bertepuk sepihak. Karna itu aku tak berharap banyak darinya, asalkan aku bisa melihat senyumannya, melihat keceriaannya dan melihat dirinya bahagia maka aku sudah bahagia.”

“Fuad… Fuad… jangan membuatku malu karna telah membesarkan anak sepertimu. Seorang pria sejati harus memiliki ambisi yang besar. Seorang pria sejati itu jika menginginkan sesuatu maka dia akan mengejarnya dan mendapatkannya… atau tidak sama sekali.”

“Sudahlah ayah, aku sudah merasa puas dengan diriku. Aku tak ingin menuntut terlalu banyak terhadap dunia yang nantinya hanya akan melahirkan kekecewaan.”

“Kau ini. Jika kau tidak pernah mau mencoba maka bagaimana mungkin kau berani bermimpi? Jika kau tidak bisa mencintai dirimu sendiri, bagaimana mungkin kau mengharapkan orang lain mencintaimu? Kau merengek-rengek terhadap nasib dan kehendak Tuhan, namun saat Dia hendak memberikannya kepadamu, tiba-tiba kau merasa tak pantas mendapatkannya. Seorang pria sepertimu lebih baik menyingkir ke laut.”

Fuad sedikit tersinggung dengan perkataan ayahnya, keegoan mudanya mencoba berontak, namun dia segera menyadari bahwa apa yang dikatakan ayahnya tidak sepenuhnya salah, sehingga Fuadpun hanya memendam kesal pada dirinya sendiri.

“Cinta itu bukanlah sesuatu yang perlu kau dramatisir sedemikian rupa sebagaimana cerita bodoh dalam novel klasik. Jika kau benar mencintai, maka kau harus mendapatkannya. Jika kau tak bisa mendapatkannya maka jangan kau mencintainya secuilpun, kaupun sama sekali tidak punya hak untuk memikirkannya, mengerti?”

Tiba-tiba Fuad menatap mata ayahnya seolah menantang, “Ayah tak mengerti tentang diriku. Ayah sama sekali tidak bisa merasakan apa yang saat ini aku rasakan. Ayah kerjanya hanya bicara, bicara dan bicara, apa ayah tidak bisa belajar mendengarkan? Apa ayah pernah mencoba memahamiku dan meluangkan waktu untuk mengerti diriku?”

Pak Rendi diam tak berkutik mendengar Fuad tampak begitu kesal, dia terkejut melihat perubahan sikap Fuad yang biasanya pendiam dan penurut.

“Maafkan ayah, Fuad. Mungkin kau benar, ayah sama sekali tidak mengerti dirimu sehingga tidak semestinya ayah bersikap seolah ayah tahu segalanya.”

“Sudahlah ayah, aku hanya ingin sendiri, jadi tolong… jangan ganggu aku.” Fuad bangkit berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamarnya sementara Pak Rendi hanya diam mematung dengan rasa prihatin melihat sikap putra semata wayangnya. Dia ingin menolongnya dan mengembalikan keceriaannya, namun dia khawatir bahwa bantuannya hanya akan membuat putranya semakin kesal. Ayah Fuad hanya bisa menghela nafas panjang dan meninggalkan putranya.

Fuad duduk termenung didalam kamarnya, membiarkan jiwanya melanglang pergi kemanapun ia menuju. Detik berganti menit, dan menit demi menit terus berjalan sementara Fuad hanya diam membisu, tenggelam dalam nostalgianya, menyiksa diri dalam keresahannya.

Akhirnya Fuad mendekati Komputernya, jari-jemarinya mulai menari-nari di atas keyboard, meluapkan segala emosi yang berkecamuk di dalam kepalanya.

“Ketika pertama kali aku memandang kemilau pancaran sinar matamu, aku mulai mengerti bahwa engkaulah sebenarnya yang selama ini aku cari. Keberadaanmu telah menyiksaku dalam ketidak pastian. Membuatku merasa dahaga dan begitu butuh untuk selalu bisa melihat keelokan parasmu. Selama ini aku terbelenggu oleh kerinduan yang merasuk kedalam sanubari...”

“…Aku tiada kuasa mengatakan sepatah katapun untuk menggambarkan gelora didalam jiwaku, namun kutahu bahwa cinta telah merasuk ke dalam relung jiwaku. Bayangmu senantiasa hadir dalam kehidupanku, menggenggam tanganku erat untuk masuk kedalam duniamu. Semenjak itu aku merasakan bahwa kehidupanku memiliki arti. Walau ku tahu bahwa kita tidak bisa bersama, namun aku tahu bahwa aku ada disini  untukmu, dan engkau disana ada untukku…”

“…Meski mustahil mengharapkan engkau senantiasa ada disampingku, aku bisa bermain dengan anganku. Aku hanya perlu menutup mataku dan berpura-pura bahwa kau ada disampingku. Aku bisa melihatmu, menyentuhmu, merasakanmu seolah nyata. Namun ketika aku membuka kedua mataku, aku menyadari bahwa hal itu takkan sanggup menggantikan apa yang terpendam di dalam hatiku…”

“…Cinta, sebenarnya makhluk apakah dirimu? Setiap kali aku menyelami ke dasar diriku, disitu aku selalu menemukanmu. Engkau permainkan diriku dalam kemabukan tiada bertepi. Apakah engkau itu hanya khayalan belaka ataukah nyata? Aku mulai kabur dalam mempersepsikan dirimu, sehingga akupun mulai tak peduli di alam manakah aku berada. Namun aku berterima kasih atas semua makna yang engkau ajarkan padaku, maka tak perlu kau ragu jika engkau memang ingin tinggal didalam hatiku, agar suatu saat aku memiliki keberanian untuk mengatakan padanya… aku mencintaimu.”

……………………………………….

Tirai langit nan gelap menutupi angkasa raya, bertabur kejora berkelip riang menyemarakkan suasana. Di atas sana sang dewi purnama mengambang dengan keredupan sinarnya, seakan menyiratkan kerinduan mendalam akan sang kekasih yang dipisahkan darinya.

Para musisi malam mulai mendendangkan iramanya ke seluruh penjuru cakrawala, membuat rerumputan turut bergoyang mengikuti alunan melodi. Sang Ibunda bumi pun terlelap dalam belaian angin malam nan lembut.

Di salah satu teras pemukiman manusia, seorang gadis jelita menikmati keindahan panorama malam beserta iringannya. Dengan parasnya yang memukau, dia pandangi langit nan membisu, berpapasan muka dengan sang Purnama, mencoba menyelami kepiluan yang dirasakan sang Purnama yang dicekam kerinduan tiada berakhir.

“Irma, kenapa belum tidur?” Suara Ibunda membuyarkan lamunannya.

“Aku sedang menikmati malam dan merenungkan banyak hal, Ibu.” Jawab Irma lembut, “Aku merenungkan tentang kenapa Allah menciptakan paras menawan bagi kaum wanita sehingga kumbang-kumbang senantiasa datang, apakah kecantikan rupa merupakan anugrah dari-Nya? Ataukah justru sebagai bencana?”

“Bersyukurlah pada Allah, Irma. Kecantikan itu bisa menjadi anugrah atau bencana tergantung bagaimana kau menggunakannya,” Sang Ibunda mencoba memberikan jawaban yang dirasa dapat mengobati rasa penasaran putri kesayangannya.

“Tapi Ibu, aku berpikir, untuk siapakah kelak aku harus mempersembahkan kecantikan yang dititipkan Allah ini? Sedari kecil aku senantiasa membayangkan, seorang Pangeran berkuda putih akan datang menjemputku, lalu kamipun akan hidup bahagia untuk selamanya… selamanya… selamanya…” Irma menatap langit dan bernostalgia dengannya, “namun, begitu aku mulai dewasa aku semakin sadar bahwa dunia nyata tak seindah khayalan, sehingga seringkali aku tak ingin membuka mataku dan ingin selalu berada di alam mimpi yang indah.”

“Putriku, bukankah untuk bisa terbang ke angkasa kita butuh bermimpi? Maka tiada salahnya jika engkau menutup matamu untuk mengetahui keindahan di alam mimpi. Sehingga, begitu engkau membuka matamu, engkau memiliki gambaran tentang apa yang ingin kau capai dan mengejarnya.”

“Apakah Pangeran itu akan datang menjemputku, Ibu? Aku mulai merasa lelah berada dalam penantian yang tiada berujung.”

“Pangeran itu akan datang, Irma. Kelak ia akan menjemputmu dan membawamu kedalam kerajaannya. Namun, satu hal yang bisa kau lakukan sekarang adalah menantikannya. Hingga saat itu tiba, kau harus tetap menjaga keindahanmu, mutiara akan tetap berkilau jika ia senantiasa terjaga dan tak tersentuh. Kau tahu Irma? Untuk apakah Allah menciptakan paras menawan bagi wanita?”

“Karna wanita adalah perhiasan. Maka Allah menjadikan kecantikan wanita sebagai penghias bagi dunia.”

“Bukan, putriku. Kecantikan wanita itu bukan dimaksudkan sebagai penghias dunia. Namun, Allah menciptakan paras menawan bagi kaum wanita adalah agar mereka bisa mempersembahkannya hanya kepada manusia yang telah ditakdirkan untuknya. Jika engkau mempersembahkan kecantikanmu kepada setiap kumbang yang datang mendekat maka sinarmu akan pudar, sehingga Pangeran berkuda putih itu takkan bisa melihat kemilaumu dan diapun takkan pernah menemukanmu, lalu penantianmu akan sia-sia.”

Irma diam cukup lama dan merenungkan makna yang terkandung didalam perkataan Ibunya, wajahnya menengadah ke langit mencoba mencari jawaban. Sang Ibunda tersenyum lembut dan berlalu, meninggalkan Irma seorang diri, berharap Irma mendapatkan jawaban dari perenungannya.

Gelap semakin mencekam, namun kerlipan bintang semakin semarak menghiasi ufuk, menemani seorang bidadari dunia yang sedang terlarut dalam sepi. Irma memejamkan matanya dan menarik nafas panjang, dan lantunan puisi meluncur dari sela bibirnya.

“Duhai engkau yang berada jauh di alam khayalku. Disini kuberdiri, menatapi langit kelam mencekam ditelan kebisuan. Berharap agar engkau datang. Melepaskanku dari belenggu kehampaan. Wahai Pangeranku, aku disini. Kenapa? Karna aku menantikanmu. Rasa rindu telah merasuki denyut nadiku, menyatu dalam rasa sendu nan melingkup ke dalam kalbu…”

“…hilang akalku menapaki jalan kerinduan, seolah tiada berakhir. Namun, bagaimana kudapat hidup tanpa menantikanmu? Setiap kupejam mataku, bayangmu selalu hadir seiring desah nafasku, mencengkram hasratku dalam resah…”

“…wahai kasih, cepatlah datang sebelum sirna akalku ditelan kegilaan. Karna aku tercipta untukmu. Itulah sebab kutiada jemu nantikan dirimu. Karna kutahu engkau pasti kan datang saat mataku terbuka. Kupercaya khayalku pastikan jadi nyata. Karna senandung cinta telah merasuk kedalam suasana. Setelah itu aku takkan pernah merasa kesepian lagi, karna engkau telah masuk ke dalam hidupku. Kini aku disini menanti, untukmu. Dan aku tahu kau disana untuk diriku.”

…………………………………….

Mentari mulai menggeliatkan sinarnya, menerangi penghuni kolong langit yang telah larut dalam kesibukannya. Kemudian terus mengambang ke atas dan semakin terik. Cahayanya menghempas menelisiki permukaan. Hingga tembus kedalam sebuah ruang kelas di sebuah Kampus yang mulai ramai.

Beberapa  Mahasiswa dan Mahasiswi berkumpul membentuk komunitasnya sendiri dan sibuk dalam bincangan dan gurauan. Beberapa dari mereka sibuk membaca dan ada juga yang baru datang. Sementara Fuad asyik dengan dunianya sendiri, duduk termangu dalam lamunan.

Tiba-tiba beberapa Mahasiswa bergerombol mengarahkan pandangannya ke satu arah sambil berbisik-bisik, ada hal yang begitu istimewa untuk diperbincangkan kali ini. Banyak dari mereka tampak penasaran dan terkejut ketika melihat seorang Mahasiswi yang tampak asing bagi mereka mulai memasuki pintu kelas.

Fuad tertegun memandangnya, tampak seorang Mahasiswi dengan penampilan yang begitu lain dari yang lain. Rambutnya telah terbalut Jilbab yang cukup lebar, namun bukan hal itu yang membuat para Mahasiswa bertanya-tanya, karna Mahasiswi berjilbab adalah fenomena biasa, namun yang membuatnya tampak begitu luar biasa adalah karna wajah Mahasiswi itu tidak tampak jelas karna terbalut cadar, hanya matanya saja yang nampak.

Mahasiswi itu berjalan dengan anggun dan duduk di bangku yang biasa diduduki oleh Mahasiswi jelita bernama Irma. Lalu tahulah para Mahasiswa di situ bahwa yang ada dihadapannya adalah benar Irma, primadona Kampus yang sangat populer.

Fuad dan para Mahasiswa disitu hanya bisa membelalakkan mata tak percaya. Wajah cantik yang biasa dengan mudah mereka nikmati kini telah terbungkus rapat. Beberapa dari mereka tampak kecewa dengan perubahan penampilan pujaan hati mereka.

Irma duduk dengan tenang tanpa menghiraukan tatapan orang-orang disekitarnya, dia telah merenungkannya semalaman dan memutuskan bahwa yang dia lakukan adalah hal yang tepat. Kini kecantikannya telah terjaga dari pandangan liar ular-ular berbisa.

Saat para Mahasiswa sedang tertegun dengan pemandangan baru yang ada dihadapannya, sang dosen telah masuk kedalam kelas sehingga merekapun duduk dibangku masing-masing. Buku-buku diletakkan di atas meja dan dosenpun memulai kuliahnya.

“Irma Putri Lestari?” tiba-tiba dosen itu mengarahkan pandangannya ke Irma dengan kening berkerut penuh tanya, “apa yang mendorongmu berpenampilan seperti itu?”

Irma tersenyum di balik cadarnya dan berkata, “saya hanya menjaga cahaya ini agar tidak redup, hingga tiba saatnya nanti saya persembahkan kepada manusia istimewa yang akan menjadi bagian dari takdir saya. Apakah ada yang salah?”

Dosen itu menggelengkan kepala perlahan, “tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa aneh saja. Terserah padamu mau berpenampilan seperti apa, asalkan baik dan sopan.”

Beberapa Mahasiswa laki-laki hanya bisa pasrah tatkala menyadari bahwa mulai hari ini mereka tidak bisa lagi mencuri-curi pandang untuk melihat kecantikan primadona Kampus berparas ayu itu. Sementara Fuad berkelana didalam diri, mencoba mencari jawaban yang dapat memuaskan seribu tanya dalam hatinya.

Sang dosen kembali memulai pelajarannya sementara Irma hanya diam membisu dicekam berbagai rasa cemas dan gelisah yang tiba-tiba merasuk kedalam dirinya. Pikirannya berkecamuk tidak menentu karna belum terbiasa mengenakan pakaian seperti itu. Apalagi ini pertama kalinya ada seorang Mahasiswi yang berani mengenakan cadar, mungkin hanya dia saja satu-satunya di Kampusnya. Wajar saja jika khawatir yang tak masuk akal didalam dirinya sempat menjejali pikirannya.

“Meski dengan penampilan seperti itu, kau masih tampak mempesona, Irma.” Vivi yang duduk di dekatnya berkomentar. Irma hanya tersenyum menanggapinya. Senyuman di bibirnya memang tak nampak oleh Vivi, namun Vivi bisa melihat senyuman melalui sorot matanya sehingga Vivipun membalas senyumannya.

Tanpa tahu kenapa, Irma menoleh kebelakang. Ia memandang  Fuad, seorang pemuda pendiam yang dikenal lembut dan sopan itu secara sekilas lalu menjadi salah tingkah dan secepatnya kembali memalingkan pandangan darinya.

“Ada apa denganku?” Irma berbisik kepada dirinya seolah merasa bersalah, “kenapa aku terdorong untuk sekedar memperhatikan apa yang dia lakukan? Kenapa aku ingin tahu apa yang ada didalam pikirannya jika aku berpenampilan seperti ini?”

Jantung Irma berdetak tak beraturan tatkala pikirannya melayang tak tentu arah. Ia berusaha menyingkirkan berbagai pikiran dikepalanya dan sekuat tenaga berusaha untuk tak menoleh kebelakang. Tapi tanpa sadar kepalanya menoleh lagi untuk sekedar mengetahui apa yang sedang Fuad kerjakan, lalu dengan seketika dia palingkan wajahnya lagi.

“Maafkan aku ya Robbi. Meskipun aku berusaha menghijab tubuhku, tapi aku masih butuh waktu untuk bisa menghijab hatiku.” Bisik Irma pada dirinya sendiri, dia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran yang diterangkan sang dosen.

Di sudut belakang, Fuad menghela nafas berkali-kali, mencoba menenangkan beragam emosi didalam hatinya. Sesekali ia pandangi Irma yang telah berpakaian sangat terjaga itu dan merenung lama lalu kembali memalingkan pandangan darinya.

“Ya Robbi, kenapa aku begitu kecewa?” gumam Fuad didalam hatinya, “jika cinta itu adalah keikhlasan, kenapa terkadang aku sedikit berharap padanya? Apakah aku menjadi egois jika menganggap bahwa cinta adalah pengharapan untuk mendapatkannya?”

Sang waktu menunaikan tugasnya hingga mata kuliahpun usai. Beberapa Mahasiswa dan Mahasiswi berhamburan keluar. Ada yang langsung menuju Kantin, sekedar jalan-jalan dan ada juga yang tetap tinggal di ruangan sambil asyik berbincang.

Irma memutuskan untuk pergi ke Masjid demi menenangkan pikirannya. Vivi dan Zahra, sahabat baiknya mengikutinya. Mereka berjalan beriringan sambil sesekali bercanda. Zahra yang selama ini sudah terbiasa mengenakan jilbab berkali-kali memuji keberanian Irma.

Irma hanya tersenyum dan menanggapi pujian Zahra, “Jika setiap hari kau selalu mendapati tatapan liar dari para pria yang menikmati keindahan parasmu, mungkin kau juga akan sedikit merasa muak, sehingga kau akan berharap, andai saja dirimu tidak cantik,” jawab Irma.

Zahra memahami perkataan sahabat baiknya itu. Memang tidak mudah hidup dengan memiliki paras mempesona, karna hal itu bisa mengundang banyak kumbang datang mendekat yang nantinya juga akan melahirkan beragam masalah. Mungkin karna itulah, kecantikan bisa menjadi bencana.

Sementara itu, Fuad duduk termangu di Perpustakaan. Pikirannya mengelana mencoba pahami beragam kalimat yang tertulis di buku yang sedang ia baca. Karna terlalu terbiusnya dengan buku yang dia baca, ia tidak menyadari bahwa Rosyid sudah duduk di dekatnya.

“Fuad, rajin amat kau ini,” komentar Rosyid membuyarkan konsentrasinya.

“Oh, kau Rosyid. Tumben ke Perpus. Tidak ke kantin sama teman-temanmu itu?”

“Malas ah, aku sedang menghemat uang jajan." Jawab Rosyid, “Eh, Fuad, buku apa yang kau baca? Tampaknya menikmati sekali.”

Fuad menunjukkan sampul bukunya.

“Hah?? Hijab? Bukankah itu buku untuk wanita. Kenapa tiba-tiba kau merasa tertarik membacanya?”

“Entahlah, tiba-tiba ada dorongan untuk membacanya.”

“Apakah ini berhubungan dengan Irma yang memutuskan untuk berjilbab, bahkan bercadar?”

Fuad diam membisu tak menanggapi pertanyaan kawannya itu dan malah tenggelam dalam pikirannya.

“Sudahlah Fuad, aku tahu kau bukan sekedar mengaguminya, tapi kau mencintainya. Betul kan?”

“Mencintainya? Hahaha… kalau benar aku mencintainya, lalu apa yang bisa kulakukan? Bukankah cinta itu tidak harus memiliki? Bukankah dengan melihatnya bahagia aku seharusnya juga akan bahagia?”

“Tapi bagaimana kau tahu bahwa dia bahagia? Bahkan bisa dibilang munafik jika dengan melihatnya bahagia kaupun akan bahagia. Apakah kau akan bahagia jika suatu ketika seorang lelaki datang kepadanya untuk memilikinya? Bukankah akan lebih baik jika kau sendiri yang berusaha membuatnya bahagia? Kenapa tidak kau saja yang mendatanginya dan mengungkapkan isi hatimu agar kau tidak terus menerus dipermainkan perasaanmu? Jikapun ia tidak bisa menerimamu, setidaknya kau sudah mencoba. Dan setelah itu kau bisa memulai kehidupanmu sendiri dan melupakannya.”

“Apakah menurutmu akan semudah itu? Hanya butuh satu menit bagiku untuk naksir padanya, hanya butuh satu jam bagiku untuk mulai mengenalnya, hanya butuh satu hari bagiku untuk jatuh cinta padanya, namun butuh waktu selamanya bagiku untuk melupakannya. Dan aku tak tahu apa aku bisa melupakannya.”

“Fuad, kau ini seorang pria, bukan wanita. Pria itu mencari, bukan dicari. Kaum wanita itu hidup dalam penantian, sedangkan kau bisa memilih. Lalu apakah kau akan diam sendiri mencari jawaban yang tak kunjung datang? Jika bukan kau yang memulai lalu siapa lagi?”

Fuad diam mendengarkan, pikirannya berlarian mencari makna dan coba memahaminya. Sejenak ia menghela nafas dan akhirnya mengangguk tanda mengerti, “kau seperti ayahku, Rosyid. Tapi mungkin memang kalian benar. Jika aku tidak mencoba, maka aku hanya akan semakin menyiksa diriku sendiri.”

Rosyid hanya tersenyum.

“Baiklah aku akan mencoba, karna aku adalah seorang lelaki. Terima kasih atas nasehatnya, kawan.” Fuad mulai berdiri dan keluar dari Perpustakaan.

Irma sedang khusyu’ menunaikan sembahyang dhuha, cadar  ia buka sehingga nampaklah keelokan parasnya. Sujud ia panjangkan, dan keluarlah lantunan do’a dari mulutnya.

“Ya Allah, kuhijab diriku dari kaum lelaki demi menjaga cahayanya agar tetap berkilau. Namun maafkan aku jika hatiku belum sanggup untuk bisa menahan kerinduan ini. Aku tak tahu siapakah pemilik hatiku yang Engkau takdirkan bagi diriku, namun kumemohon agar dia segera datang menjemputku. Karna aku tak kuasa menahan keresahan yang terus bersemayam ke dalam kalbu. Ya Robbi, kuharamkan kaum adam menikmati pesona yang Engkau titipkan padaku hanya demi menjaga kecemburuannya. Namun, keberadaannya kini hanya sekedar bayang khayalan. Meski aku terus berusaha untuk tetap percaya sepenuhnya akan janji-Mu namun aku hanyalah manusia lemah yang tak sanggup untuk terus menahan gelora yang bergemuruh didalam jiwa. Maka beri aku kesabaran untuk menantikannya. Karna aku yakin suatu saat dia akan datang. Dan aku percaya, kelak khayalku kan jadi nyata.”

Ketiga Mahasiswi itu usai menunaikan penghambaannya kepada Pemilik semesta, Irma kembali mengenakan cadarnya dan mereka pun keluar dari masjid menuju kelas. Tanpa mereka sadari, seorang pemuda telah menunggu mereka di balik sebuah pohon.

“Kenapa aku bisa senekad ini?” gumam Fuad pada dirinya sendiri, jantungnya semakin berdetak tak karuan tatkala menyadari Irma berjalan semakin mendekati pohon tempatnya berada, “aku harus berani menanggung konsekuensinya, jika aku tak berani mengutarakannya sekarang maka tak pantas bagiku mengaku sebagai seorang lelaki sejati.”

Fuad menarik nafas dalam-dalam dan mengumpulkan seluruh keberaniannya, lalu diapun muncul dari balik pohon menyambut Irma. Ketiga Mahasiswi itu terkejut dengan kemunculan Fuad yang begitu tiba-tiba, terlebih lagi Irma.

Pemuda pendiam yang biasanya menyendiri itu kini berhadapan muka dengan Primadona Kampus yang selama ini dia dengungkan dalam mimpinya.

“Irma, boleh aku bicara sebentar denganmu?” kata Fuad sambil berusaha bersikap tenang meski didalam dirinya berbagai emosi bergejolak tak karuan.

“Ada urusan apa denganku?” Jawab Irma mencoba bersikap tenang untuk menutupi desiran hangat didalam hatinya. Degup jantungnyapun mulai berdetak cepat kehilangan irama.

Dua mata saling berpandang dan dua hatipun bergejolak, melodi tanpa suara mengiring ibarat hembusan angin musim semi yang membawa keharuman seribu mawar nan merekah. Dua hati saling merindu kini telah bertemu. Namun, Irma segera menepis bisikan jahat di dalam hatinya dan langsung memalingkan wajah sebelum Dewi Asmara melontarkan panahnya.

“Bolehkah aku bicara denganmu, hanya berdua saja? Ada hal penting yang ingin kusampaikan.” Kata Fuad lebih mantap. Sikap Fuad membuat ketiga Mahasiswi itu terperanjat, tidak biasanya Fuad begini berani. Padahal biasanya dia begitu pendiam dan sangat pemalu jika berhadapan dengan wanita.

“Tidak !!” Jawab Zahra seolah mewakili perkataan Irma.

“Aku tidak berbicara denganmu, Zahra.” Komentar Fuad.

“Zahra benar, aku tidak bisa menuruti keinginanmu. Jika ada yang ingin kau sampaikan, maka sampaikanlah sekarang juga atau tidak sama sekali.” Jawab Irma tegas.

Fuad hanya diam tak berkutik lalu kembali berusaha, “hanya sepuluh menit, Irma. Kenapa kau tidak mau meluangkan waktu sebentar untukku? Sebentar saja.”

“Karna tidaklah seorang wanita berduaan dengan seorang pria, melainkan syetan menjadi pihak ketiganya.” Jawaban Irma membuat Fuad terkejut, ia ingat kalimat itu sama persis dengan yang ada didalam buku yang baru saja dia baca.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan mengatakannya disini.” Fuad menatap mata Irma, namun Irma langsung menundukkan pandangannya.

“Sebaiknya cepat katakan apa urusanmu.”

“Irma, sejak pertama kali aku mengenalmu. Saat itu ada perasaan aneh yang tiba-tiba mengguncang kehidupanku. Aku tidak mengerti perasaan ma…”

“Tolong, katakanlah seperlunya saja tanpa perlu memperpanjangnya.” Irma langsung memotong, perasaannya mulai berkecamuk tak karuan.

Fuad tercekat, dia bingung harus bagaimana. Seluruh keberanian yang dia kumpulkan luluh sudah. Dia mencoba mengumpulkan keberaniannya kembali namun sia-sia, dia hanya bisa diam membisu menundukkan pandangannya ketanah.

“Jika tak ada yang mau dibicarakan, kami bertiga mau pergi. ” Irma mulai beranjak dan memberi isyarat kepada dua sahabatnya, merekapun mulai meninggalkan Fuad.

Sekilas, Irma menatap Fuad dan membatin kedalam dirinya, “maafkan aku Fuad, aku tahu bahwa kau adalah seorang pria lembut dan baik hati. Sebenarnya aku tak ingin menyakiti perasaanmu.” Irma menghela nafas panjang dan mulai berjalan beriringan bersama dua sahabatnya.

“Irma !!” tiba-tiba Fuad memanggil sehingga Irma menghentikan langkahnya dan berbalik kebelakang. Fuad berdiri memandangnya dan berkata dengan seluruh keberanian yang berhasil dia kumpulkan.

“Irma…” suara Fuad bergetar,” aku… mencintaimu.”

DEGG !!!

Jantung Irma seakan diremas, darahnya bergolak menyisiri denyut nadinya. Emosinya berkumpul jadi satu dan bergulat di dalam diri hingga akhirnya hembusan dingin menjalar di permukaan kulitnya. Irma diam membeku dengan mata terbelalak tak percaya. Pertahanan dirinya mulai kikis bersama sinar mata yang mulai lembab. Jendela hatinya mulai terbuka bersama kerinduan yang terlampiaskan. Namun akal sehat mencoba berontak dan mengendalikan suasana.

Dua sahabat Irma saling berpandangan seolah tak percaya Fuad bisa senekad itu, lalu merekapun menatap Irma, menunggu jawaban yang bakal keluar dari mulutnya.

Irma memejamkan matanya menahan rasa sakit yang teramat menyiksa. Bibirnya bergetar, nafasnya tak beraturan. Rasa senang dan sakit bergejolak menjadi semacam emosi yang tak tergambarkan.

Lalu Irma menghirup nafasnya dalam dan berkata, “Maaf Fuad, berhetilah mengharapkanku, karna aku bukan milikmu. Hanya tiga patah kata yang kau ucapkan, namun kau telah menghancurkan kehidupanku. Aku hanya wanita yang tak kuasa mengikis emosi yang terlanjur membenam didalam diri, maka jangan kau siksa aku dalam khayalan yang tak pasti.  Kau bukanlah Pangeran yang selama ini kunanti untuk menjemput diriku yang dilanda kerinduan tiada bertepi. Kau hanya seekor kumbang yang datang dan mengotori hatiku untuk memuaskan hasratmu. Keberadaanmu hanya akan membuat Pangeran impianku pergi meninggalkanku. Karna itu, sebagaimana kau belajar untuk mencintaiku, maka kini belajarlah untuk melupakanku.”

Remuk redam hati Fuad mendengarnya, ibarat gelas yang jatuh di bebatuan. Seolah bumi dilanda Kiamat, seolah mentari telah padam dan langit telah pecah. Semangatnya melebur tersapu angin. Harapannya telah larut bagai garam di dalam air. Fuad mematung tak berdaya, matanya berkaca-kaca, seakan sembilu telah membelah jantungnya dan mengiris paru-parunya. Duniapun kini mulai kehilangan arti.

Irma memalingkan wajahnya dari Fuad dan berjalan bersama kedua sahabatnya meninggalkan Fuad. Rasa bersalah membayangi. Seketika itu mulutnya tercekat dan nafasnya tersendat. Irma sesenggukan menahan perih, sementara kedua sahabatnya hanya bisa menatap prihatin. “Maafkan aku Fuad, ini demi kebaikanmu. Kau harus memikirkan banyak hal yang lebih berarti daripada memikirkanku yang hanya akan menyisakan beragam rasa perih dalam hatimu.” Batin Irma dalam hati.

…………………………………….

Satu Minggu berlalu. Suasana Kampus ramai seperti biasa, namun ada satu hal yang berbeda, bangku yang biasa diduduki Fuad selama ini kosong. Tentunya hal ini membuat Irma semakin tersiksa dan merasa bahwa ini adalah kesalahannya. Namun disisi lain, suara hatinya membela diri karna merasa telah melakukan yang terbaik. Kini setiap Irma menoleh kebelakang, dia tidak lagi mendapati wajah Fuad yang biasa asyik dalam lamunannya.

“Fuad, ada apa denganmu?” batin Irma, “tahukah engkau apa yang sebenarnya telah tumbuh di kegelapan palung hatiku yang curam? Ku tiada mengerti rasa apa ini. Namun keberadaanmu telah menjadi candu bagi kehidupanku. Setiap kali kupalingkan wajahku untuk mencuri pandang padamu, kutiada mendapati dirimu di tempatmu. Sungguh sejak itu aku semakin tersiksa oleh rasa sesal tiada tara, meski kutahu bukan kesalahan yang kuperbuat, namun tetap saja rasa ini kian menggerogoti. Kucoba pejamkan mataku lupakan dirimu, namun setiap kali mataku tertutup, bayangmu semakin kuat melintas dibenakku.”

Kegarangan sinar mentari mulai meredup seiring berlalunya waktu dan sorepun datang. Kuliah usai dan saat bidadari Kampus itu melangkahkan kaki keluar Kampus, tiba-tiba HPnya berbunyi mengejutkannya.

“Irma cepatlah pulang, ada hal penting.” Begitu pesan singkat dari SMS yang dikirimkan ayahnya di rumah, keningnya berkerut bersama beragam tanya yang bermunculan dalam dirinya.

Irma pun bergegas dan segera mencegat Angkot didepannnya. Angkotpun melaju membawanya. Sementara ribuan tanya masih juga melingkupi batinnya, membuatnya semakin tak sabar untuk cepat pulang.

Sesampainya di kediaman, sang Ibunda datang menyambutnya, membuat rasa penasaran dalam dirinya semakin menguat, ada apa sebenarnya? Ketika sang Ibunda membawanya masuk, Irma dikejutkan oleh sosok yang sedang duduk di ruang tamu, aliran darahnya bergejolak dan memuncak ke kepalanya.

“Fuad, ada apa kau mendatangi rumahku? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa kau harus berusaha melupakanku? Keberadaanku hanya akan menjadi penyesalan bagi dirimu.” Kata Irma spontan.
Fuad hanya memandangnya sambil tersenyum, dia tampak begitu berbeda. Wajahnya tampak berbinar cerah bersama rasa percaya diri yang telah menguat dalam dirinya, “Irma, aku mencintaimu.”

“Bukankah aku sudah memberi jawaban?”

“Aku bisa melakukan lebih dari sekedar mengatakan bahwa aku mencintaimu.”

Irma diam membisu, menunggu apa yang akan di ucapkan oleh Fuad dengan gelisah.

“Irma, aku mencintaimu dan aku ingin memilikimu,” kata Fuad sangat mantap, “maukah kau menikah denganku?”

Seluruh aliran darah di tubuh Irma seolah berhenti, udarapun membisu. Tiba-tiba nuansa hangat melingkupi, bersama semerbak taburan bunga nan mewangi. Kegelapan melebur bersama datangnya cahaya. Segala resah, gelisah berpadu dan sirna. Suatu rasa menggelegak bersama datangnya senyuman terukir, penantian berakhir sudah berganti pertemuan yang telah lama didamba.

Hanya untuk sebuah kalimat inilah, Irma rela menanti dan menghadapi malam demi malam dalam keadaan tersiksa dalam kerinduan yang senantiasa menyesak ke rongga dada. Namun kini sang Pangeran telah datang dan membuktikan apa yang selama ini Irma yakini. Tanpa harus menutup mata semua telah nampak indah, karna impian telah menjadi nyata.

“Fu… Fuad… ka… kau serius dengan apa kau ucapkan?” Tanya Irma mencoba meyakinkan diri.

“Tentu saja Irma, aku sangat serius. Aku datang untuk menjemputmu. Aku telah membuat keputusan yang takkan pernah aku ragukan lagi. Aku membatalkan rencanaku untuk melanjutkan Kuliah di Jepang karna aku tahu cita-cita terbesarku ada di depan mataku sehingga aku tak perlu lagi mencarinya.” Fuad tersenyum, kedua matanya memandangi Irma lekat, “Irma, apakah kau mau menerimaku?”

Irma membuka cadarnya, menampilkan pesona gadis belia berparas menawan. Dengan lembut ia pandangi Fuad, sinar matanya yang redup ibarat purnama memberi aroma kesejukan yang mendinginkan suasana hati yang terbakar. Seutas senyum terukir, menambah nilai keelokannya. Tanpa ragu dia berkata, “aku menerimamu, Fuad. Dengan segenap hati.”

“Allaahu akbar !!! akhirnya,” Fuad mengepalkan tangannya dengan semangat membuncah, senyum lebar tak tertahankan menambah binar kebahagiaan di wajahnya, “Baiklah Irma, besok aku akan mengambil tabunganku yang selama ini aku kumpulkan, dan kita berdua akan membangun kerajaan kecil kita. Aku juga akan berhenti Kuliah dan mulai bekerja. Dua hari lagi Irma, kita akan langsungkan pernikahan.”

Irma membelalakkan matanya, “Dua hari?”

“Lebih cepat lebih baik, semakin lama ditunda hanya akan menimbulkan fitnah.” Tiba-tiba suara ayah Irma terdengar dari belakang Irma, disampingnya berdiri ayah Fuad. Sementara Ibunda Irma tersenyum puas seolah turut merasakan kebahagiaan putrinya.

Irma tak kuasa menahan ledakan emosinya, ia jatuh ke pelukan Ibunya dan menangis, derai airmata kebahagiaan membasahi pipinya. Sementara yang lain memandangi penuh haru dengan senyum mengukir bibir.

Waktu berlalu begitu cepat, dua haripun berlalu. Tenda biru telah terpasang di halaman rumah Irma, sementara para undangan telah duduk di kursinya masing-masing, kebanyakan dari mereka adalah teman-teman Irma dan Fuad, baik itu teman Kuliah, teman bercanda, atau teman di masa lalu, sisanya adalah tokoh masyarakat dan warga sekitar.

Akad dilaksanakan. Semua telinga mendengar dengan seksama. Manusia, Jin dan para Malaikat menjadi saksi ikrar yang di ucapkan dalam sebuah mitsaqan ghaliza*, sebuah ikatan suci yang menyatukan dua insan dalam janji setia yang diridloi oleh Yang Maharahman. Sayup-sayup terdengar suara Fuad dari dalam rumah dengan suara mantap penuh percaya diri, “waidza qobiltu nikahaha wa tajwijaha inni kuntu minadhdholim.”


*) Perjanjian yang teguh. Kalimat ini ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 3 kali. Pertama, ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi pilihan. Kedua, ketika Allah mengambil perjanjian dari Bani Israel dengan mengangkat bukit Thursina di atas kepala mereka. Ketiga, ketika Allah mengambil perjanjian dari dua pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cahaya Harapan






"Hati-hati mas, jangan terlalu dekat dengan bangsal itu, dia berbahaya, bisa saja dia melemparmu dengan gelas,” seorang tukang sapu RSJ memperingatkan seorang mahasiswa yang sedang berjalan melewati bangsalku, mahasiswa itu pun siaga dan berjalan lebih cepat, raut wajahnya begitu terlihat cemas dan takut.

            “Ggraaawllll !!!” Aku berteriak tiba-tiba ketika mahasiswa itu begitu dekat dengan jendela tempatku berada, sontak dia melompat dengan penuh keterkejutan sehingga wajahnya membiru karna saking takutnya, seketika diapun berlari terbirit-birit di sepanjang koridor RSJ.
Aku tertawa terbahak-bahak dengan suara lengking yang aneh keluar dari mulutku, aku menggedor-gedor teralis besi yang memagari jendela keras-keras hingga kedua tanganku lecet. Semua mata perawat dan tukang sapu RSJ memandang ngeri ke arahku, merekapun mengambil jarak lebih jauh dariku.

            Setelah cukup lama aku tertawa, akupun keletihan, aku duduk dibangku kayu di dalam bangsalku dan merenung cukup lama sampai aku menyadari bahwa aku sangat kesepian, jam dinding berdetak mengikuti irama jantungku seolah memahami rasa sakit yang merasuk ke dalam jiwaku, “tik tok… tik tok… tik tok…”

            Aku meraba jantungku dan merasakan sesak didadaku, entah kenapa rasa ini begitu menyakitkan, padahal tak ada luka yang nampak, namun rasa sakit ini begitu menyiksa, rasa sakit yang terus menggerogoti dari dalam. Aku butuh teman bicara, aku butuh teman berbagi, aku tak bisa menanggung rasa kesendirian ini lebih lama, aku tak sanggup menahan rasa sakit ini seorang diri. Tanpa sadar air mata merembes keluar melalui sela mataku dan membuat basah pipiku dan akupun mulai terisak-isak.

            Aku menyandarkan kepalaku ke meja kayu di depanku dan menyingkirkan sarapan pagi yang sedari tadi tidak tersentuh olehku, kulipat kedua tanganku dan membenamkan kepalaku didalamnya, aku menangis dan terus menangis hingga tanpa sadar akupun tertidur.
Entah sudah berapa menit aku tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara kunci pintu yang diputar, jantungku berdebar kencang saat pintu bangsalku dibuka, lalu masuklah seorang perawat wanita ke dalam bangsalku..

            “Aargh… argh…” teriakku menakutinya, namun dia malah berjalan lebih dekat kearahku dengan tenangnya, keringat dingin bercucuran membasahi kulitku, aku mendelik kearahnya dengan harapan agar dia tidak mendekati “wilayahku”, namun dia tidak mempedulikanku.
“Gubrakk!!” Kursi tempatku duduk terjungkal ketika aku dengan tiba-tiba melompat dan berlari menjauhi perawat, aku mencari tempat yang aman untuk berlindung, lalu akupun meringkuk di sudut ruangan dan merapat ke lemari kayu, tubuhku menggigil ketakutan dan mataku dengan waspada memandanginya.

            “Andrea, aku takkan menyakitimu,” perawat wanita itu berusaha berbicara dengan sangat lembut, senyum manis yang dipaksakan melengkung di sudut pipinya.
Tentu saja perawat itu berbohong, dia akan menyiksaku dan mungkin akan membunuhku. Pernah suatu ketika seorang perawat mengambil jarak yang terlalu dekat denganku dan sebelum dia mencekikku aku membela diri, kulempar dia dengan sendok, gelas, piring, buku, kursi, meja dan benda apa saja yang bisa aku sentuh hingga perawat itu mengalami memar-memar yang begitu banyak di sekujur tubuhnya.

            Lalu enam orang dari bagian keamanan berdatangan dan masuk ke bangsalku untuk menyelamatkan si perawat dari kemarahanku, mereka berenam memegangi tangan dan kakiku lalu menyuntikkan obat bius di tanganku dan akupun tertidur, ketika aku terbangun aku mendapati tangan dan kakiku terikat di sebuah kursi, merekapun memaksa agar aku menelan pil pahit berwarna merah meski aku bersikukuh menolaknya, akhirnya mereka menjejalkannya kemulutku meski aku telah berteriak-teriak sekuat tenaga.

            “Grawl !! grawl !!” Bentakku ke arah perawat itu.

            “Baiklah Andrea, aku tidak akan mendekatimu,” perawat itu berbicara dengan sangat lembut, dan ketika dia melihat sarapanku yang masih utuh dia hanya geleng-geleng kepala, “Andrea, sejak kemarin perutmu tidak terisi apapun, cobalah untuk makan satu-dua sendok, kamu butuh gizi. Andrea, sebenarnya ingin sekali aku menyuapkannya kemulutmu namun aku khawatir kamu akan mengamuk lagi sehingga aku terpaksa memanggil keamanan untuk membiusmu dan mengurungmu. Tapi ya sudahlah. Sebentar lagi Psikiater “itu” akan datang yah, siapa lagi kalau bukan dokter Rio.”

            Aku mengernyitkan dahiku ketika mendengar dokter Rio disebut, ‘benarkah dia akan datang?’ pikirku harap-harap cemas, semoga perawat itu tidak berbohong.   
            “Bagaimana Andrea, kau senang mendengar kabar ini?” Tanya perawat wanita.
Aku hanya diam membisu sambil menatap matanya dalam-dalam, setelah beberapa detik akupun tersenyum kearahnya, perawat itu membalas senyumanku sebelum akhirnya keluar dari bangsalku, mengunci pintunya dan meninggalkanku sendirian.

            Aku menunggu kedatangan Psikiaterku, dengan berdiri didekat jendela yang berteralis besi, aku terus mengawasi sepanjang koridor sejauh mataku bisa menangkapnya, setiap ada orang berjalan melewati bangsalku aku berharap dia adalah dokter Rio tapi ternyata bukan, setelah lama menanti aku mulai bosan dan duduk di kursi.       
           
            Perutku mulai berbunyi, aku memandangi sarapan pagiku yang mulai dingin, lama aku berpikir sampai akhirnya akupun mendekatinya dan memegang sendoknya. Satu suap… dua suap… tiga suap… aku terus memasukkannya kedalam perutku.

            “Ceklek… ceklek…” suara pintu dibuka, aku terkejut sekali hingga suapan nasi yang masih berada di dalam mulutku masuk ke saluran pernafasan membuatku tersedak dan nasi itupun menyembur melalui hidungku meninggalkan rasa nyeri dan gatal.

            “Gubrak !!” Kursiku terjungkal ketika aku secara reflek melompat dan berlari ke sudut lemari untuk berlindung hingga akhirnya pintu bangsalku terbuka dan kudapati dokter Rio berdiri mematung sambil menatap kearahku.

            Aku merasa tenang kembali sehingga detak jantungku yang sudah bergejolak kembali stabil ke iramanya yang teratur, aku memandangi dokter Rio cukup lama hingga akhirnya senyum tipis terbentuk dipipiku.

            “Bagaimana kabarmu, Andrea?” Tanya dokter Rio dengan ramah.
Dokter Rio adalah Psikiater terbaik yang pernah kutemui, hal itu tidak lain adalah karna sikapnya yang pengertian dan senantiasa berusaha untuk memahamiku. Aku pernah bertemu dengan banyak Psikiater yang lebih parah darinya, mereka senantiasa memandangku dengan tatapan yang jijik karna penampilanku yang sangat lusuh. Memang, sudah berhari-hari aku tidak mandi, rambutku yang panjang mulai tampak kusut, bajuku yang sangat jarang dicuci inipun mulai robek sana sini.

            Tapi yang aku tidak suka dari mereka adalah karna mereka tidak pernah menganggapku sebagai manusia, mereka hanya melihatku sebagai sebuah mesin yang dijadikan kelinci percobaan untuk riset-riset mereka. Mereka memandangku tidak lebih dari goresan grafik dalam buku catatan yang terkadang naik tapi lebih sering turun. Sedangkan dokter Rio berbeda dengan mereka, dokter Rio selalu menempatkan dirinya dalam sudut pandangku, dan aku tahu bahwa dia sangat tulus untuk membantuku, ya, aku yakin dengan ketulusannya dan aku bisa melihat dan merasakannya.

            “Uhm, seperti biasa dokter… tidak terlalu baik,” jawabku dengan suara pelan, berharap tidak ada orang luar yang mendengarkanku.

            “Apakah ada masalah? Aku memperhatikan catatanmu, Andrea, semakin hari semakin parah,” dokter Andrea membetulkan kursi kayu yang tadi terjatuh ke posisinya semula dan mulai mendudukinya, “aku sudah mendengar semua dari para perawat dan Psikiater disini, mereka telah berputus asa untuk menyembuhkanmu, bahkan mereka menyangka bahwa kau gila. Terakhir, kau melempari seorang perawat dengan semua benda hingga sampa sekarang dia tidak mau mendekati bangsalmu lagi.”

            “Dia berusaha membunuhku dokter !!” Jawabku membela diri.
Dokter Rio memandang mataku dalam-dalam dan suasanapun hening sejenak, kemudian dia menghembuskan nafasnya perlahan sambil geleng-geleng kepala, “Andrea, sampai kapan kau menyimpan fantasimu itu? Dan kenapa juga dia hendak membunuhmu? Apa alasannya?”
Aku terdiam dengan perasaan yang agak dongkol, bahkan dokter Rio yang sangat baik padaku tidak percaya padaku, lalu siapa lagi yang akan percaya padaku? Aku berjalan mendekati jendela dan melihat ke luar bangsal, mungkin saja ada orang lain di luar sana yang saat ini sedang mengawasi kami, setelah dirasa keadaan aman akupun duduk di kursi kayu, berhadapan dengan dokter Rio.

            “Kenapa dokter tidak percaya padaku? Kalau dokter sudah tidak percaya padaku lalu siapa lagi yang akan percaya?” Air mata mulai merembes keluar dari sela mataku.
“Bukan aku tak percaya padamu, Andrea, tapi ucapanmu itu sangat tidak masuk akal. Apa alasannya dia membunuhmu? Dan apa untungnya?”

            “Karna dia membenciku, karna mereka membenciku, karna semua orang sangat membenciku !”

            “Apa yang membuatmu berpikir bahwa semua orang membencimu?”

            “Aku bisa merasakannya dokter, aku bisa melihatnya meski mereka berusaha menyembunyikannya.”

            “Tidak ada yang membencimu, Andrea, mereka menyayangimu, mereka memperhatikanmu dan ingin membantumu,”

            “Dokter bohong !!” Aku melengking, “tak ada satu orangpun yang peduli padaku.”

            “Termasuk aku?”

            Aku termangu beberapa saat hingga akhirnya berkata, “tidak. Kecuali dokter, semua orang membenciku kecuali dokter.”          

            “Jika kau bisa percaya padaku, kenapa kau tidak bisa percaya pada mereka?”

            “Karna… karna dokter berbeda dengan mereka,” aku mulai terisak ketika mengenang masa laluku, “aku takut, dokter… sangat takut.”

            “Andrea, aku menyayangimu dan aku ingin kau segera sembuh dan hidup sebagaimana layaknya orang lain. Aku kehabisan akal untuk mengatasi sikap paranoidmu itu, aku membutuhkan bantuanmu, maukah kau membantuku?”

            “Aku takut dokter. Semua orang membenci keberadaanku.”

            “Tak ada yang membencimu, kamu sendirilah yang membenci dirimu sendiri. Semua orang hanya berperan sebagaimana cermin, mereka hanya memantulkan cahaya yang datang pada mereka. Jika kau merasa semua orang membencimu maka kau akan bertingkah laku seolah semua orang membencimu, lalu karna sikapmu itu, apa yang tadinya hanya perasaanmu saja, kini jadi realita. Orang lain membencimu karna kau bersikap seolah semua orang membencimu. Jika kau berpikir bahwa semua orang menyayangimu, maka apa yang tadinya hanya perasaanmu saja maka akan menjadi realita. Andrea, bersikaplah seolah orang lain menyayangimu, maka mereka akan menyayangimu.”

            “Betulkah?” Tanyaku sedikit sangsi, “aku hanya perlu berpikir bahwa mereka semua menyayangiku maka mereka akan menyayangiku?”

            “Jika kau berpikir bahwa orang lain itu baik hati maka kau pun akan bersikap baik pada mereka, dengan begitu merekapun akan bersikap baik padamu.”

            “Tapi aku tidak bisa menyayangi mereka, aku tidak bisa menyayangi orang yang aku tahu bahwa mereka sangat membenciku.”

            “Kau tidak membenci mereka Andrea, kau membenci ayahmu, lalu kebencianmu itu kau lampiaskan pada semua orang,” dokter Rio mulai berdiri dari kursinya.

            Aku berusaha mencerna perkataan dokter Rio tapi semakin aku memikirkannya semakin terasa pening kepalaku, rasanya sakit… sangat sakit.

            “Aaaaaaahhh… aaaaaaahh… aaaahh…” tiba-tiba aku merasakan himpitan yang begitu keras dalam kepalaku, rasanya sakit, benar-benar sakit.

            Semua kenangan itu kembali menjejali kepalaku, ayahku… si biadab itu menghantui pikiranku, betapa ingin aku membedah usus-ususnya, mencongkel bola matanya, merobek mulutnya dan mengulitinya.

            “Aaaaaaaahhh… aaaaaahhh… aaaaaahh…” rasa sakit semakin mendera ketika kenangan demi kenangan tergambar satu demi satu seperti rekaman video.

            Ayahku, aku membencinya, sangat membencinya, namun aku tidak tahu bagaimana caranya melampiaskan kebencianku.

            “Andrea, tenangkan dirimu !” Dokter Rio berteriak penuh kecemasan.

            Tiba-tiba aku merasakan suara dengungan didalam kepalaku, semakin aku berusaha mendengarkan dengungan itu semakin terasa semakin jelas suaranya, sayup-sayup kudengar suara nyanyian, semakin lama suara itu semakin jelas dan semakin jelas.

            “Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday happy birthday happy birthday to you…” itu suara kakak perempuanku saat merayakan ulang tahunku yang ke empat, dia menegakkan sebatang lilin di atas sepotong kue dan menyuruhku meniupnya, lalu dia menutup mataku dan begitu mataku dibuka, aku mendapati sebuah mainan kereta api diatas meja, dia mengatakan bahwa mainan itu adalah hadiah ulang tahun untukku yang berasal dari celengannya selama 4 bulan.

            Aku begitu bahagia dan langsung mencium kening kakak tunggalku itu lalu kakakkupun memelukku dengan perasaan sayang. Namun tiba-tiba, si brengsek itu datang dan merusak kebahagiaan kami. Ayahku yang baru saja menenggak minuman keras menghampiri kami dan membanting mainan kereta api itu hingga berkeping-keping, aku meratap menangis dan memohon tapi sia-sia, ayah menginjak mainan itu hingga benar-benar remuk.

            Tiba-tiba ayah menjambak rambut kakakku dan membentaknya dengan kata-kata kasar karna ayah mengira kakakku membeli mainan itu dari hasil mencuri. Ayah membenturkan kepala kakakku berkali-kali kelantai hingga darah berceceran, aku tidak memalingkan pandanganku saat peristiwa itu berlangsung, namun aku tak bisa berbuat apa-apa, aku takut dan bersembunyi di bawah meja sementara kakakku terus berteriak histeris, Aku diam membisu tercekat oleh rasa takut yang teramat sangat, hingga jeritan kakakku pun terhenti… untuk selamanya.

            “Aaaaaaaahh… aaaaaaaaahh… aaaahh…” Aku terus menjerit dan semakin keras, dan kulihat dokter Rio mulai panik.

            “Andrea, tenangkan dirimu,” kata dokter Rio berulang-ulang.

            “PRANGG !!” Piring yang berisi sarapanku jatuh kelantai dan berhamburan mengotori lantai.

            “Menyingkir kau dariku !!” Aku membentak dokter Rio.

            Aku mengangkat kursi tinggi-tinggi dengan kedua tanganku dan melemparkannya ke arah dokter Rio dan… “Brakk !!” tepat mengenai perutnya hingga ia terhuyung jatuh ke belakang.

            Aku mengangkat satu kursi lagi dan melemparkannya namun dia berhasil mengelak, aku mengangkat meja namun tak kuat sehingga meja itu ambruk di depanku, aku melemparkan buku-buku, pulpen, gelas dan apa saja ke arah dokter Rio.

            Suara keributan ini terdengar dari luar, tanpa dokter Rio harus meminta tolong, petugas keamanan yang berjumlah 8 orang telah berhamburan masuk ke bangsalku dan mengepungku. Aku melemparkan apa saja kearah mereka namun mereka telah berpengalaman dengan hal semacam ini.

            Salah satu dari mereka mendekapku dari belakang, belum sempat aku meronta, tiba-tiba 7 orang lainnya sudah memegangiku, aku kalah jumlah dan hanya bisa berteriak sekeras aku bisa.
“Hati-hati, jangan sampai pasienku terluka,” kata dokter Rio.

            Sebatang jarum bius sudah menancap di tanganku dan akupun berhenti meronta, lalu semuanya pun menjadi begitu gelap, aku terlelap.


l l l


            “Bang!! Bang!! Bang!!” Dengan penuh emosi, aku menggedor-gedor pintu sel tempat aku dikurung, aku terus memukulinya hingga tanganku sendiri berdarah namun tak ada satu petugaspun yang mempedulikanku.

            “Bang!! Bang!! Bang!!” Pintu sel ini terbuat dari besi yang benar-benar kokoh, sehingga berkali-kalipun aku memukulnya, pintu itu tidak lecet sedikitpun, justru kulit tangankulah yang mengelupas dan berdarah.

            Aku keletihan dan duduk dilantai sel yang dingin, aku meringkuk kedinginan dan membenamkan wajahku di dalam kedua tanganku. Tanpa terasa mataku mulai berair dan akupun menangis terisak-isak.

            Aku kembali mengenang masa laluku yang begitu menyakitkan. Aku memiliki seorang ibu yang kata orang sangat baik, namun sayangnya ibuku meninggal karna sakit ketika usiaku belum genap 5 bulan.

            Kejadian itu membuat ayahku benar-benar depresi dan membuatnya berubah menjadi tukang pukul yang kejam, aku dan kakak perempuanku selalu menjadi bulan-bulanannya karna bagi ayahku keberadaan kami berdua mengingatkannya pada ibuku yang sudah tiada.

            Ayah menjadi seorang pemabuk dan bergaul dengan preman-preman jalanan, setiap kali ia pulang kerumah dan melihatku atau kakakku, dia langsung meluapkan seluruh kekesalannya. Ayahku sangat membenci kami sebagaimana ia membenci ibu, ayah membenci ibu justru karna rasa cintanya yang berlebihan, ayah berpendapat bahwa seandainya ia tidak terlalu mencintai ibu maka dia pastilah tidak akan terlalu sakit hati saat kehilangannya.

            Namun aku mempunyai seorang kakak yang sangat menyayangiku yang selalu menghiburku dan mewarnai hidupku disaat kebencian ayah sedang memuncak, kakakku bersikap seolah ia adalah ibuku dan ia berusaha menggantikan ibuku, aku merasa bahwa aku benar-benar tidak bisa hidup tanpanya.

            Namun hal yang paling aku takutkan terjadi, akhirnya kakakku menyusul ibuku dan meninggalkanku dalam kesedihan dan ketakutan yang tiada tara. Aku masih ingat betul kejadian itu, gambaran itu masih terlihat jelas didalam kepalaku, aku bisa melihat tengkorak kakakku yang pecah dan otaknya yang berhamburan serta darah yang membanjiri lantai.

            Aku masih ingat betul bagaimana ayah terus membenturkan kepala kakakku yang sudah tak bernyawa, aku masih bisa mencium bau anyir dari darah kakakku, aku masih ingat betul kengerian yang menyelimuti seluruh ragaku dikala ayah memalingkan pandangannya kearahku yang sedang meringkuk ketakutan, dan aku masih ingat rasa sakit kala itu, dikala ayahku membanting tubuhku yang rapuh sampai aku kehilangan kesadaran.

            Untungnya ada seorang tetangga yang memergoki kejadian itu dan dia melarikanku ke rumah sakit sementara ayahku melarikan diri dari kejaran polisi. Aku dirawat oleh sebuah keluarga yang ternyata tidak menyayangiku, lalu akupun berpindah dari satu pengasuhan ke pengasuhan lain hingga aku remaja, semua orang membenciku sehingga akupun membenci mereka.

            Aku hidup dengan sebuah ambisi yang memuncak, yaitu menghabisi ayahku. Aku terus memburunya dan mencari berita tentang keberadaannya. Aku selalu membawa sebuah belati yang kuasah setiap sore dan aku sangat ingin menggunakannya untuk membedah usus-usus ayahku.

            Namun, nasib tidak berpihak padaku. Aku mendengar sebuah berita bahwa ayahku mengalami kecelakaan dalam pengejaran polisi, sebuah truk melindasnya hingga isi kepalanya berhamburan di jalanan, begitu mendengar kabar itu aku begitu terpukul dan menjerit sekeras-kerasnya, aku sangat sakit hati karna tidak bisa melampiaskan dendamku, aku tidak bisa menghujamkan belati itu keperut ayahku, aku tak akan pernah bisa melihat wajah ayahku yang kesakitan dan memohon-mohon padaku, aku mulai merasa kehilangan tujuan hidupku dan aku mulai kehilangan diriku, lalu… disinilah aku berada.


l l l



            Sudah 7 hari sejak aku mengamuk dan melampiaskan seluruh kekesalanku kepada dokter Rio, kini aku merasakan rasa bersalah yang teramat sangat, aku sangat takut dia membenciku karna perlakuanku kala itu, aku menghabiskan waktu didalam bangsal hari demi hari dalam kesendirian dan dalam kesedihan, ini adalah hari tergelap yang pernah aku rasakan, dibenci oleh orang yang aku sayangi.

            Tubuhku semakin kurus karna aku tidak memiliki nafsu makan, tubuhku pun semakin kotor karna aku menolak mandi. Aku menghabiskan hariku dengan berteriak-teriak sendiri, menangis, tertidur, mondar-mandir dan meringkuk di dekat lemari, lalu dengan jujur aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku menyesali apa yang aku lakukan pada dokter Rio, kini dia tidak akan mau lagi menemuiku, kini aku harus menanggung kesendirian dan kesedihan ini sampai mati atau… lebih baik aku mati sekarang saja?

            Ya, lebih baik aku mati sekarang saja agar aku terbebas dari segala kesengsaraan yang membelengguku, aku telah kehilangan arti hidupku, tapi… sebelum aku mati aku ingin melakukan satu hal, aku ingin melarikan diri dari sini dan mencari kuburan ayahku yang telah menyebabkan aku menjadi begini, lalu aku akan mengeluarkan jasadnya dan menguliti seluruh tubuhnya dan mencacah-cacah tubuhnya hingga kecil-kecil agar ayah yang sudah berada dialam lain sana merasakan rasa sakitnya, mungkin aku tidak bisa mendengarkan jeritannya maupun melihat rasa takutnya namun setidaknya aku telah melampiaskan dendamku, setelah itu, aku tidak peduli lagi apa yang akan terjadi.

            Aku tertawa sendiri ketika membayangkan adegan ketika aku harus membedah tubuh ayahku yang telah mati, dan aku akan terus menyiksanya sampai aku puas meski aku sendiri tidak tahu apakah aku bisa terpuaskan.

            “Ceklek !!” Tiba-tiba pintu bangsal terbuka ketika aku sedang asyik dalam lamunanku, aku tidak punya waktu untuk terkejut.

            Aku melihat dokter Rio berdiri diambang pintu dan berjalan kearahku, ketika melihatnya tiba-tiba seluruh kebencian yang menyelubungi diriku melepuh, aku melihatnya seperti sinar didalam kegelapan yang teramat pekat.

            Namun ketika aku melihat perban yang melekat di tangan kanannya aku menjadi begitu lemas, rasa bersalah yang teramat sangat menyiksaku dari dalam, “dia dengan tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya, dia dengan tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya, dia dengan tulus berusaha menolongmu namun kau menyakitinya,” kata-kata itu terus berdengung didalam kepalaku hingga aku merasakan himpitan yang luar biasa.

            “Aaaaaaahh… aaaaaaahh… aaaaaaaahh…” aku mulai meringis kesakitan.

            “Andrea,” dokter Rio berbicara dengan begitu tenang, “aku memahami kejadian waktu itu, kau hanya kehilangan kendalimu, namun aku tahu bahwa kejadian itu takkan kembali terulang karna aku tahu bahwa kau menyayangiku, dan, tanpa harus kau meminta maaf padaku, aku… telah memaafkanmu, dan sedikitpun aku tidak membencimu.”

            Sebuah senyuman tulus yang terukir disela bibir dokter Rio ibarat hembusan angin musim semi bagiku, seolah seluruh beban didalam kepalaku melebur dalam seketika sehingga rasa sakit didalam kepalaku menghilang, aku merasa begitu nyaman, aku merasa begitu tenang, dan akupun tersenyum.

            “Benarkah? Dokter sudah memaafkanku dan tidak menaruh dendam sedikitpun kepadaku?”

            “Tentu saja, aku melakukan yang terbaik bagi diriku dan bagi dirimu, karna aku tahu bahwa kebencian itu tidak dapat membuatku bahagia, karna aku tahu bahwa dendam itu adalah siksaan batin yang takkan pernah dapat terpuaskan oleh apapun.”

            Aku merasa tidak pernah mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari pada ini selama hidupku, aku mendapatkan pencerahan dan akupun mulai mengerti arti dari sebuah kasih sayang dan pemaafan, dan akupun mulai menemukan cahaya harapan yang akan menerangi seluruh langkahku.

            Kami berbicara sana-sini dan sesekali dokter Rio menyisipkan sedikit lelucon yang membuatku terpaksa tertawa. Dokter Rio mengatakan padaku bahwa dia akan mengajakku jalan-jalan keluar dan sekarang dia sedang sibuk mengurus izinnya. Namun untuk hal itu dia memerlukan kerjasama dariku, aku harus bersikap baik selama dua minggu kepada semua orang yang berhubungan denganku, aku harus menambahkan point-pointku dan menaikkan grafikku keatas, yang itu artinya aku harus mau mandi, sarapan tepat waktu, merapikan tempat tidur dan berkomunikasi dengan semua orang. 

            “Aku akan melakukannya dokter, aku akan melakukan hal terbaik yang bisa aku lakukan.”

            “Jika nanti kau telah sembuh, aku akan memperkenalkanmu dengan sebuah keluarga yang dikenal sangat bijaksana, mereka telah berpengalaman berurusan dengan orang-orang yang memiliki gangguan jiwa, mereka juga tidak hanya mengurusmu namun juga akan melatihmu dan memberikanmu pekerjaan agar kau tidak terlalu tergantung pada mereka, selain itu tentu saja kau harus mengejar ketertinggalanmu di Sekolah, mereka akan memasukkanmu ke SMP, kurasa tidak akan menjadi masalah jika kau menjadi siswa tertua dikelasmu asalkan kau bisa menunjukkan kualitasmu, mengingat usiamu yang sudah 15 tahun seharusnya kau sudah kelas 3 tapi tidak mengapa jika kau harus memulai dari kelas 1, sepulang sekolah akan ada les tambahan buatmu agar kau lebih bisa memahami pelajaran di kelas dengan baik. Aku akan mengatakan pada gurumu bahwa dulu kau terlalu sibuk bekerja sehingga kau tertinggal, yang penting takkan ada satupun orang yang tahu rahasiamu,dan takkan ada satu orangpun yang akan mengira bahwa dari sinilah kau berasal. Kau bisa memulai hidupmu yang baru dan memiliki kehidupan yang normal dan selanjutnya… masa depan ada ditanganmu.”

            Kebahagiaan membuncah memenuhi relung jiwaku dan meledak begitu saja, aku berjingkrak-jingkrak penuh kesenangan mendengar kabar yang seolah datang dari langit.


l l l



            Dua minggu telah berlalu, aku melakukan apa-apa sesuai yang disarankan dokter Rio sampai-sampai para perawat terkejut melihat perkembanganku, berbagai pujian dilontarkan padaku ketika para Psikiater melihat catatanku, mereka menjabat tanganku dan tersenyum padaku, akupun mulai terbiasa untuk berkomunikasi dengan mereka sehingga tak ada orang yang merasa takut lagi kepadaku. Ternyata benar apa yang dikatakan dokter Rio padaku, jika aku memandang orang lain disekitarku adalah orang baik maka merekapun akan menyesuaikan diri dengan persepsiku.

            Aku dibelikan sebuah baju dan celana baru yang sangat bagus dan disetrika licin oleh perawat, aku bahkan sudah boleh keluar masuk bangsal sesuka hati. Kini aku sedang menunggu kedatangan dokter Rio yang selama dua minggu ini tidak menemuiku.

            Aku berpenampilan dan bersikap seperti halnya remaja pada umumnya, aku sedang asyik berbincang dengan seorang penghuni bangsal dan berusaha membesarkan hatinya ketika akhirnya dokter Rio mendatangiku dan mengajakku keluar seperti yang dijanjikan.

            Kami berjalan-jalan di Mall dan bermain di Time Zone seperti halnya ayah dengan putranya, kami juga menikmati makan siang di KFC, selain itu dokter juga mengajariku sedikit demi sedikit etika berkomunikasi dan bergaul, hari ini benar-benar hari terindah yang pernah kurasakan, aku sangat bahagia.

            Sore harinya aku mengajak dokter ke rumahku yang telah aku tinggalkan selama 11 tahun, kini keadaannya telah banyak berubah, dinding-dindingnya pecah, rumput liar tumbuh disana sini, pintu kayunya telah pecah dan lapuk disantap rayap, kaca jendela banyak yang pecah, genteng rumah juga sudah banyak yang berjatuhan, isi rumah sudah menghilang entah kemana.     

            Aku mengajak dokter Rio melihat-lihat rumahku sambil menceritakan hal-hal yang pernah terjadi didalam rumah ini, ketika kami berada di kamar mandi aku menceritakan tentang bagaimana dulu kepalaku dibenamkan didalamnya, ketika kami berada didapur aku menceritakan tatkala ayahku memukuliku dan kakakku tanpa ampun, setiap ruangan memiliki cerita tersendiri.

            Akhirnya kami tiba digudang, aku menceritakan secara detail dan lengkap kejadian paling tragis yang pernah terjadi didalam ruangan ini, aku menceritakan tentang hadiah ulang tahunku yang dihancurkan oleh ayahku, tentang darah yang berceceran, tentang jeritan kakakku yang akhirnya terhenti, dan tentang semua ketakutan yang kurasakan.

            Hari sudah menjelang malam ketika dokter Rio mengajakku pergi kesebuah pemakaman dengan mobilnya, tepat dibawah pohon Kamboja aku melihat makam yang benar-benar tidak terurus, rumput liar tumbuh di atasnya menampilkan kesan angker.

            “Ini adalah tempat dimana ayahmu dikuburkan,” gumam dokter Rio.

            Tubuhku bergetar dan rasa dingin menjalar disekujur tubuhku, jantungku berdebar dua kali lebih cepat dan gigiku gemeletuk. Aku diam membisu tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun seolah waktupun ikut membeku.

            Aku merenungkan kenangan masa laluku dan seluruh kebencianku meluap menghimpit dadaku, lalu aku menghirup udara sore yang dingin kedalam paru-paruku hingga benar-benar penuh dan menghembuskannya dengan perlahan.

            “Ayah…” kataku, “tidak ada makhluk yang paling aku benci dimuka bumi ini melebihi kebencianku padamu, dan kebencian ini benar-benar menyakitkan, selama ini aku memendamnya dan membiarkan rasa sakit menjalar keseluruh tubuhku.”

            “Ayah…” kataku, “kini aku mulai memahamimu, aku memahami kebencianmu terhadap dunia yang kau anggap tidak lagi adil, namun ayah, Tuhan tidak akan ditanyai tentang apa yang diperbuat-Nya terhadap makhluk yang diciptakan-Nya namun makhluk ciptaan-Nyalah yang nantinya akan ditanyai tentang bagaimana mereka menyikapi setiap ujian yang menimpanya.”

            “Namun ayah,” kataku, “hidup ini adalah pilihan, takdir hidup itu terletak ditangan kita sendiri yang jika kita bisa menyikapinya secara bijak maka akan berbuah manis pada akhirnya. Apakah ayah tahu? Aku tidak beda dengan ayah, ayah menganggap dunia memperlakukan ayah secara tidak adil sehingga ayahpun melampiaskan kekesalan dan kebencian ayah kepadaku, sebagaimana aku melampiaskan kebencianku kepada semua orang yang ada disekitarku karna perbuatan ayah.”

            “Suatu saat mungkin, ada orang yang tertimpa kebencianku sebagaimana kebencian ayah yang dilampiaskan kepadaku sehingga kebencian itu akan terus berjalan seperti mata rantai, orang yang menjadi pelampiasan kebencianku juga akan melampiaskan kebenciannya kepada orang lain, jika begitu maka rantai kebencian itu akan terus merambat sehingga dunia akan dipenuhi dengan kebencian dan dendam.”

            “Namun ayah, aku ingin merusak mata rantai itu, aku takkan melampiaskan kebencian dan dendamku dan membiarkan dunia berjalan dengan damai karna aku tahu bahwa kebencian dan dendam itu tidak akan sembuh dengan pelampiasan, namun kebencian dan dendam itu akan melebur dengan pemaafan.”

            Aku menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, lalu kurasakan dokter Rio menaruh tangannya kebahuku, aku terdiam sejenak dan kemudian berkata, “ayah, aku tidak lagi peduli dengan kekejaman yang pernah ayah lakukan terhadapku, aku tidak lagi peduli dengan apa yang telah terlanjur terjadi. Ayah, aku hanya ingin mengatakan bahwa… aku memaafkanmu, aku memaafkan semua kesalahan ayah dari yang terkecil hingga yang terbesar tanpa sisa.”




"Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (Surah Al-Imran:Ayat 134)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS