Goresan Izzah



                

              Awan mendung bergumul menjadi satu paduan. Gelap melingkup di langit sana, juga di langit hatiku. Gemuruh menggema, menggaung ke seantero kolong langit. Meneriakkan angkara kemarahan. Membuat bocah-bocah manusia menggigil takut dibawah hamparan selimut dengan kedua telapak tangan menempel di sisi telinga.

                Sebutir air melesat dari nirwana. Membelah angin. Jatuh pasrah menghujam bumi dan hancur berkeping. Dan tiba-tiba segerombolan besar butiran menyusul jatuh dengan serentak. Puluhan, ratusan, ribuan… oh bukan, bahkan jutaan butiran air langit berhamburan jatuh melingkupi bumi. Terus menerus tiada henti. Basahi kegersangan. Membuat rerumputan dan pohon bersorak sorai menyambut kedatangannya.

                Kurebahkan punggungku di sandaran kursi teras rumah dalam tatapan beku menatap hampar pelataran yang mulai menggenang. Gemeritik air hujan menabuh genting rumahku, hancurkan sepi. Sesekali angin bertiup kencang, membelai rambut hitamku dengan lancang. Nuansa dingin merasuk ke dalam sunsum tulangku, getarkan bulu roma. Jaket kulit mahal yang kupakai tak sanggup menahan terpaan musim.

                Manis melekat basahi lidah ketika Kopi panas kental menyentuh sensor lidahku. Hangat menerabas masuk ke usus membuat tubuhku dapat bertahan melawan serbuan dingin. Kuhambat udara di persimpangan paru-paruku dalam lima ketukan detak jarum jam. Lalu kuhembuskan dengan helaan nafas panjang. Otakku berpacu keras, berduel sengit dengan gelombang nafsu yang melingkupi.

                “Sepandai-pandai lelaki dapat takluk dihadapan sebodoh-bodoh wanita,” pesan Pak Ustadz masih melekat erat di benakku. Ya. Aku tahu itu. Aku paham akan hal itu. Bahkan sang Rosul tercinta seringkali berpesan kepada umatnya untuk berhati-hati terhadap godaan wanita.

                “Hati-hatilah kalian terhadap dunia. Hati-hatilah kalian terhadap wanita.”

                Jika otakku sehat dan nalar. Pasti aku akan menuruti nasehat-nasehat indah tersebut. Aku adalah seorang aktifis Islam. Pengemban risalah dakwah. Di langit aku memiliki kehormatan. Dimana para Malaikat membanggakanku. Dimana para bidadari langit terpesona olehku. Apakah aku begitu bodoh melepaskan mahkota kehormatanku itu hanya demi makhluk lemah bernama wanita?

                Nur. Berarti cahaya. Tapi Nur yang ini tidak menerangiku, justru keberadaannya bisa menjerumuskanku. Aku tahu, dia bukanlah kriteria yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Dia bukanlah seorang akhwat yang memiliki komitmen untuk memperjuangkan Islam. Paras wajahnyapun biasa saja. Ya, dia memang manis. Ya, dia memang mempesona. Entah ajian apa yang dia miliki sehingga banyak lebah mengerubunginya.

                Dan aku? Meskipun tidak secara terang-terangan, aku tidak bisa menafikkan perasaanku bahwa akupun terpikat olehnya. “Bodoh !!”, “Gila !!” umpatan-umpatan semacam itu sering terlontar dari akal sehatku. Namun aku menulikan diri dan bersikap masa bodoh.

                Aku bukan tidak tahu bahwa Nur adalah seorang gadis yang sering mempermainkan perasaan para lelaki. Sudah tak terhitung berapa banyak pria merana karna tingkahnya. Aku bukan tidak pernah melihat Nur sering bergandengan tangan dengan lelaki. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dia sering berboncengan dengan pemuda yang selalu berganti wajah dan namanya.

                Apakah aku begitu bodoh membiarkan diriku, seorang ihwan yang sering mengikuti kajian dan aktif dalam beragam gerakan dakwah, teronggok tak berdaya di dalam rak tempat Nur mengumpulkan barang koleksinya? Entah setan apa yang telah memperdayakanku hingga aku bisa sebegini buta. Bahkan Samson yang perkasa bisa roboh dihadapan Delilah. Apalagi aku yang ringkih ini.

                Dadaku bergemuruh. Sesak terasa menghimpit paru-paru. Kututup kelopak mataku sepersekian detik, ketika mata terbuka, lembab membungkus kornea mataku. Seiring jatuhnya hujan ke muka bumi, jatuh pula setetes embun dimataku. Mengalir perlahan menyisir pipiku, bersama hembus nafasku yang mulai sesenggukan.

                Bagaimana dengan kedudukan muliaku di langit? Para Malaikat yang dulunya membanggakanku pasti kini mencemoohku. Mahkota izzah-ku telah direnggut. Bidadari langitpun kehilangan selera terhadapku. Tahtaku dilangit telah dicabut. Kini aku tidak lebih mulia dari seekor cacing yang menggeliat di genangan selokan.

                Hembusan alam menyiksaku dalam kebekuan. Aku tak peduli. Bahkan jika aku sakit karnanya, aku tak peduli. Biar saja tubuh dan jiwaku digerogoti kesenduan kemudian terbaring tak berdaya. Aku tak peduli. Aku benar-benar tak peduli lagi.

                “Nur…” aku menggumam lirih menyebut namanya, si algojo haus darah yang telah menorehkan beragam luka di hatiku. Yang menghancurkan harga diriku. Yang menjatuhkan martabatku dilangit dan di bumi. Seorang makhluk tak berdaya bernama wanita telah sukses merobohkanku, seorang pengemban risalah yang biasa berteriak lantang di podium.

                Sakit sekali dada ini. Ada apa denganku? Padahal tidak ada hubungan yang istimewa antara aku dengan Nur. Aku patah hati padahal aku bukan orang yang baru putus cinta. Nur bahkan tidak tahu bahwa namanya telah melekat erat dihatiku. Nur sama sekali tidak tahu menahu bahwa keberadaannya telah menghancurkanku.

                “Aku adalah sahabatmu,” suara Nur yang begitu merdu masih terngiang di telingaku.

                “Teman biasa. Tidak lebih dan tidak kurang.” Jawabku.

                Nur tersenyum manis, membuai diriku melambung ke gerbang nirwana. Lalu tangan kanannya dijulurkan padaku agar aku bisa menjabatnya sebagai tanda persahabatan.

                “Maaf. Bukan muhrim.” Jawabku singkat, aku mencoba mengusir rasa bersalah karna menolak menjabat tangannya. Nur menarik kembali tangannya dan tersenyum maklum.

                Bayang dirinya senantiasa mengusik malam-malamku. Tak bisa kusangkal bahwa ketika aku begitu dekat dengannya, aku merasa nyaman. Ada sedikit rasa gugup memang, meski aku selalu menyembunyikannya dan berusaha untuk bersikap wajar. Mungkin karna aku jarang bergaul dengan kaum Hawa, maka hal yang biasa saja menjadi begitu berkesan bagiku.

                Dophamine-ku selalu mengaliri darahku ketika terbayang pikiranku padanya. Candu ini jelas lebih kuat dari candu Narkoba, membuatku sakhaw akan asmara. Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, bahkan Sholatpun tak bisa khusyu’. Selalu wajahnya yang hadir di pelupuk mataku.Namun, sekuat tenaga  aku berusaha agar tidak seorangpun tahu seberapa besar perasaanku pada Nur. Biarlah aku pendam sendiri. Biarlah rasa ini mengeroposkan kekuatanku tanpa ada yang tahu.

                Tidak mungkin aku menceritakan kebodohanku ini pada teman-temanku yang rata-rata adalah aktifis dakwah yang hebat. Mau ditaruh dimana wajahku jika mereka tahu bahwa aku yang aktif meneriakkan syiar Islam jatuh hati pada seorang playgirl? Aku mencoba bungkam  seribu bahasa tatkala mereka bertanya tulus tentang permasalahanku. Padahal ingin sekali aku menceritakan masalahku untuk mengurangi beban pikiranku yang terlalu berat.

                “Shofwan, kok kamu sering gak masuk. Ada apa?” begitu bunyi SMS yang masih belum ku delete dari inbox. SMS dari Nur ketika aku sering tidak masuk Sekolah. Aku tidak membalas SMS itu, padahal ingin sekali aku mengatakan, “aku sakit gara-gara kamu, tahu!!”

                Ketika aku bertemu dengannya, aku berusaha mengacuhkannya agar dia menjauh dariku sehingga pikiranku tentangnya pudar. Dengan begitu aku akan kembali pada kehidupanku yang dulu. Tapi ketika dia benar-benar bertemu denganku, aku luluh juga. Keceriaannya, senyumannya, tingkah polahnya membuatku selalu gagal untuk menjauhinya. Aku ingin dekat dengannya. Ingin selalu dekat dengannya. Karna tanpanya hidupku kosong. Karna tanpanya hatiku hampa.

                Seperti biasa, aku hanya menanggapinya sepatah – dua patah kata. Meski sebenarnya aku ingin sekali bisa berlama-lama dengannya. Ingin sekali aku menambah topik pembicaraan ketika pembicaraan kami hampir usai. Tapi tidak mungkin. Aku harus menjaga namaku sebagai seorang aktifis. Jangan sampai fitnah terhembus ke lubang telinga anak-anak manusia.

                Hidupku menjadi terasa begitu sepi tanpa keberadaannya. Rasa rindu yang tak wajar sering merasuk lewat mimpi malamku. Kadang rindu itu sedikit terobati ketika di pagi Shubuh HP-ku bergetar dan kubaca sebuah SMS singkat dari Nur, “bangun kawan, sudah shubuh nih.”

                Aku tidak membalas SMS itu. Aku tidak boleh membalasnya. Berkali-kali SMS darinya masuk namun tidak kubalas. Kadang menanyakan kabar. Kadang hanya mengirim kata-kata bijak pembangkit semangat. Mungkin karna bosan, dia berhenti mengirim SMS padaku. Selama tiga hari tidak ada SMS masuk darinya dan tiba-tiba hatiku merasa galau. Entah kenapa, aku sangat takut jika dia mulai melupakanku.

                Tanpa tahu mengapa, tiba-tiba terkirim SMS dari HP-ku, hanya sebuah kata-kata bijak. Seharusnya aku tidak boleh mengirim SMS tidak penting kepada seorang gadis, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku merindukan SMS darinya. Sejak itu, SMS darinya mulai berdatangan lagi. Kali ini aku terkadang membalasnya dengan ramah.

                Hati nuraniku kubiarkan mencaci makiku ketika aku mulai sering bermain SMS dengannya. Aku mulai mencoba dekat dengannya. Kadang kami chatting, kadang lewat SMS. Namun ketika kami bertemu secara langsung, aku diam seribu bahasa. Aku hanya berani bergerilya di dunia maya.

                Akupun mulai mengenalnya lebih jauh. Tentang emosinya, tentang cita-citanya, tentang kesedihannya. Akupun mulai membuka diriku dan menceritakan beberapa hal tentang diriku. Kami menjadi akrab di dunia maya, meskipun aku tetap menjauh di dunia nyata. Tidak boleh seorangpun tahu. Jangan sampai racun-racun fitnah terhembus.

                Pernah ketika di pagi hari hatiku berbunga, tiba-tiba sorenya hatiku remuk redam. Tentu saja bagi Nur, bergaul akrab dengan para pemuda adalah perkara biasa. Bergandengan, merangkul dan sentuhan fisik dengan lawan jenis adalah prilakunya sehari-hari. Tapi aku memandangnya sebagai suatu perkara besar dan berat. Aku tidak tahu perasaan macam apa ini. Yang pasti, ada rasa cemburu yang luar biasa. Sementara itu, Nur tidak tahu menahu perasaanku. Dia tidak tahu bahwa dia menghancurkanku karna perbuatan yang dia anggap biasa saja.

                Aku marah. Tapi pada siapa. Aku pun mulai menjauhi Nur. Membiarkan diriku disiksa oleh suara-suara nurani. Kali ini aku tidak bisa membungkamnya, kali ini aku tidak bisa pura-pura tidak mendengar. Hatiku sudah terlalu sakit dan kecewa. Tidak mungkin. Tidak mungkin aku mencintai gadis seperti Nur yang bahkan tidak bisa menjaga izzah-nya. Yang bertabaruj. Yang dengan bebas tanpa rasa bersalah ikhtilat dengan lawan jenis.

                Pendamping hidupku adalah kehormatanku. Jika aku terpikat oleh gadis semacam Nur, itu berarti aku merendahkan izzah-ku. Aku tidak rela namaku tercoret dari daftar buku langit. Aku adalah seorang pembawa risalah Islam. Allah membeli jiwaku dengan kemuliaan, bagaimana mungkin aku malah menjual jiwaku dengan harga rendah kepada playgirl macam Nur. Itu terlalu bodoh.

                Rintik hujan diam membisu. Langit usai tunaikan tugasnya. Rerumputan pun sudah kenyang menghirup nutrisi. Samar-samar terang mentari mulai mengintip dari celah mega, menyemburatkan cerah warna pelangi. Begitu elok nan mempesona.

                “Langit seolah kembali hidup setelah mati,” gumamku, “begitu pula kehidupanku. Aku harus bangkit kembali setelah terpuruk. Aku tidak boleh terlalu lama terkungkung dalam kesedihan. Ada banyak hal yang harus dikerjakan. Tugas-tugas dakwah menumpuk. Menunggu untuk diselesaikan.

                Seiring waktu berlalu, dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak berhubungan lagi dengan Nur. Aku pindah ke Sekolah lain. Aku mengganti nomer HP-ku. Memblokir nama Nur dari daftar pertemanan di FB. Meski sakit terasa merobek hatiku. Meski nafsu ini terus meronta dalam jeritan, mengganggu ketenangan lelapku.

                Hingga akhirnya akupun terbiasa tanpa keberadaan Nur. Aku berhasil melupakannya. Aku tidak peduli bagaimana perasaan Nur. Aku tidak peduli jika dia sakit hati padaku karna aku memutuskan komunikasi dengannya. Sekarang aku benar-benar memfokuskan pikiranku dengan permasalahan ummat.

                Aku kembali mengeluarkan pedang dari sarungnya. Beradu denting dengan virus pemikiran perusak aqidah. Menggempur dan menahan arus Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme yang semakin meluas hingga pemukiman. Terkadang kalah, terkadang menang. Namun aku terus berusaha bangkit tiap terjatuh. Karna Allah dan Rosul bersamaku.

                Para malaikat kembali mempopulerkan namaku, memperbincangkanku siang malam dalam majelis. Sekumpulan bidadari langit berkerumun melihat aksiku dan terpukau olehku. Tentu saja, aku masih belum ada apa-apanya. Apalagi jika dibandingkan sahabat Mush’ab bin Umair. Jutaan orang sepertiku berkumpul menjadi satu sekalipun belum ada sebutir debu derajatnya dibandingkan beliau.

                Bumi tiada henti berputar pada porosnya. Hingga tahun Masehi berganti. Kulepaskan bangku SMA bersama datangnya hari kelulusanku. Nilaiku membuatku bernafas lega. Mantap kulangkahkan kakiku memasuki gerbang sebuah Universitas ternama dan menjalani seleksi.

                Akhirnya tiba hari yang dinanti. Dengan ritme nafas yang masih berantakan dan sekujur tubuh yang banjir peluh aku berlari menuju papan pengumuman yang ramai dipadati calon Mahasiswa baru. Aku merangsek masuk untuk melihat lebih dekat. Dengan harap-harap cemas kutelusuri barisan nama. Senyum mengembang menghias bibirku tatkala kudapati namaku tercantum didalamnya.

                “Sofwan. Itu benar kau kan?” tiba-tiba suara merdu yang sangat kukenal terdengar dari arah belakang. Jantungku melompat. Ketakutan mencekam. Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutanku. Aku menoleh kebelakang dan mendapatinya. Nur Alissa.

                Wajah itu masih sama. Begitu manis dan memikat. Ada rasa senang. Ada rasa bersalah. Rasa ini campur aduk seperti adonan. Ketenangan dan rasa nyaman menaungi gemuruh hatiku. Tatkala kulihat seberkas senyum di wajahnya yang teduh, bala tentara iblis melepaskan rantai-rantai nafsu satu demi satu. Sehingga nafsu ini bebas berkeliaran tak tentu arah.

                Samar-samar kulihat utusan Dewi Asmara mengintaiku dari balik pepohonan. Bersiap melontarkan panah asmara ke jantung hatiku. Semerbak harum berhembus bersama alunan sepoi. Menyemikan taburan bunga di lubuk hatiku. Panah Cupid dilontarkan tepat ke jantung hatiku. Dan syetan-syetan laknat tertawa senang tatkala akal sehatku terhalang kabut hitam nan pekat.

                “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari fitnah dunia. Aku berlindung kepadamu dari fitnah wanita.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tarian Dalam Kanvas



               Aku mematung, terhanyut dalam keindahan pesona dalam kanvas. Indah sekali, kesannya begitu hidup dan memiliki jiwa. Matahari dengan sapuan warna orange dengan gradasi senja yang begitu memukau. Dibawahnya hamparan rumput dengan sapuan warna hijau pekat dengan garis-garis tipis dipinggirannya. Sebenarnya lukisan itu sudah cukup indah. Pergiliran gradasi warna yang menegaskan pencahayaan yang begitu detail. Siluet bebatuan yang membelakangi cahaya redup mentari sore.

                Namun pohon itu terasa mengganggu. Kenapa dia harus meletakkannya disitu? Kenapa dia merasa perlu untuk melukisnya? Apa maksudnya? Pohon tua itu merusak nuansa elegan dalam lukisan itu. Keberadaannya justru membuat kabur tema yang dibuat. Kupandangi pohon tua yang berdiri kokoh di atas rerumputan itu. Goresan kuasnya terkesan kasar, campuran warnanya terlalu tebal, namun detail teksturnya begitu memukau.

                Pohon itu seolah melambangkan kemarahan yang terpendam. Itu tampak dari akar-akarnya yang menyeruak di atas permukaan dengan gumpalan tanah yang menempel. Akar pohon itu merusak tanah disekitarnya, rerumputan yang berada disekitarnya nampak layu. Seolah pohon itu hendak menyerap semua keindahan dan meleburkannya.

                Seekor burung gagak bertengger di dahan pohon yang telah kehilangan seluruh daunnya itu. Memberikan kesan yang begitu angker. Tapi ini aneh, tentu saja ini aneh. Karna begitu kontras dengan pemandangan siluet sore yang elegan. Cara menggoreskan kuasnya pun berbeda. Seolah lukisan ini dilukis oleh dua orang yang berbeda.

                Aku meraba permukaan kanvas itu. Merasakan teksturnya dipermukaan kulitku. Aku merasakan sapuan kuas yang begitu lembut pada latar pemandangan sore. Benar-benar dilukis dengan seluruh jiwa. Ada rasa kasih sayang, pengertian dan kelembutan dari caranya melukis. Namun begitu aku meraba goresan kuas pada pohon itu aku tersentak, secara reflek kuangkat tanganku. Menakutkan sekali. Perasaan yang begitu campur aduk dirangkum jadi satu kesatuan hasilnya begitu kacau. Ada kebencian di dalamnya, ada kesedihan dan ada keputusasaan.

                “Ada apa Erin?” Retno bertanya padaku begitu melihat tingkahku.

                “Oh tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya terkesan dengan lukisan ini. Kau tahu siapa yang melukisnya?” tanyaku.

                “Oh itu lukisan Sena. Itu lho Mahasiswa seni rupa yang selalu bikin ribut suasana kelasnya. Memangnya lukisan itu menarik ya? Menurutku sih biasa saja.”

                “Retno, kau ini. Tau apa kau tentang seni?” Jawabku, “aku pernah melihat beberapa karya lukis dari London, dan lukisan ini menurutku juga cukup layak disebut sebagai mahakarya. Aku jadi penasaran dengan orang bernama Sena itu.”

                “Kau ingin bertemu langsung dengannya?”

                “Ya. Tentu saja.”

                “Kalau jam segini sih biasanya dia asyik nongkrong sama teman-temannya di Kantin. Perlu kuantar ketempatnya?”

                “Bolehlah. Setidaknya aku ingin tau yang mana orangnya.”

                Suasana Kantin begitu ramai, hilir mudik para pelanggan yang rata-rata adalah Mahasiswa kampus ini seolah tidak ada habisnya. Aku menyapa beberapa teman yang kebetulan berpapasan denganku. Ada juga beberapa pemuda yang hanya berani mencuri pandang padaku. Tentu saja mereka tidak berani sok akrab denganku karna kedudukan ayahku sebagai Walikota yang cukup disegani.

Aku melayangkan pandangan keseluruh penjuru kantin dan kulihat di salah satu meja tampak berkerumun para pemuda yang asyik membuat kebisingan. Tampak seorang pemuda memimpin obrolan sementara yang lainnya serius mendengarkan. Beberapa detik kemudian secara serentak mereka tertawa terbahak-bahak.

“Itu dia yang bernama Sena.” Retno menunjuknya dengan buku yang ada ditangannya. Aku menatap pemuda bernama Sena itu. Apa benar dia yang bernama Sena? Benarkah lukisan tadi dia yang membuatnya? Sepertinya tidak melukiskan karakternya. Kukira dia adalah seorang pendiam dan tidak banyak bergaul. Tapi ini menarik.

Aku menghampiri salah satu karyawan Kantin dan memesan Jus Alpukat. “Tolong berikan ini pada orang itu ya? Sena. Tahu kan?” karyawan itu mengangguk.

“Katakan padanya bahwa aku… Erin menitipkan salam untuknya.”

Setelah aku membayar dan memberikan tip untuk karyawan Kantin itu aku langsung pergi meninggalkan ruangan bersama Retno. Aku tidak harus bertemu langsung dengannya saat ini. Tentu saja Sena sudah mengenalku sebagaimana seluruh Mahasiswa di Kampus ini tahu siapa dia yang bernama Erin.

****

Mereka sangat berarti bagiku. Lukisan-lukisan ini, yang kupajang rapi mengelilingi perpustakaan pribadi keluargaku. Meskipun untuk mendapatkan salah satunya saja aku harus menguras tabunganku. Tapi memang begitulah, hanya orang yang berani berkorban saja yang bisa memahami sebuah karya seni. Dan jika harus dinilai dengan uang, maka karya seni itu tidak bisa dinominalkan. Mereka melukisnya dengan jiwa maka aku harus menghargainya semampuku.

Aku menatap sebuah lukisan gadis kecil dihadapanku. Lukisan yang bagus. Nampak latar belakang hujan rintik-rintik yang membasahi tubuh gadis kecil yang berpakaian usang. Aku menatap mata gadis kecil itu namun aku tidak mendapatkan jiwa didalamnya. Lukisan yang hanya indah dipandang tapi tak bisa diresapi. Aku hanya melihatnya sebagai zombie, tidak ada kehidupan didalamnya. Tidak nampak rangkuman emosi dari si pelukis. Tapi banyak orang awam memuji lukisan ini. Mereka yang hanya melihat dari apa yang terlihat.

Sebenarnya aku tidak tertarik dengan lukisan ini. Tapi ini adalah hadiah ulang tahun dari kakakku, dan dia menghargainya terlalu mahal. Jadi aku berkesimpulan bahwa letak artistiknya ada pada pengorbanan kakakku dalam mencurahkan kasih sayangnya padaku dengan menghadiahkan lukisan yang cukup mahal ini padaku. Bukan pada lukisannya. Kesan didalamnya. Itulah yang menjadi keindahannya. Walaupun tetap saja akan lebih baik jika kakakku mengerti sedikit tentang jiwa seni sehingga aku tidak harus memajang mayat hidup ini disini.

Aku menduga, orang yang melukisnya tidak begitu mengerti tentang seni. Dia hanya memfokuskan diri menciptakan sebuah nuansa keindahan, meski tanpa jiwa. Mungkin dia mengira bahwa melukis adalah profesi bisnis sehingga dia hanya berpikir bahwa yang terpenting bagi lukisan adalah segera terjual dan berganti menjadi gemerincing uang. Dan keinginannya jelas terkabul. Orang-orang awam pastilah akan terpukau dengan keindahan lukisannya.

Sedangkan lukisan disebelahnya, mungkin tidak begitu menarik bagi kebanyakan orang. Hanya goresan-goresan cat air yang tak jelas maksudnya. Warna-warna bercampur mengotori kanvas. Tapi lukisan inilah yang sebenarnya bagus. Aku bisa merasakan sentuhan emosinya. Jiwanya. Harapannya.

Lukisan ini sangat bermakna bagiku. Setiap aku melihatnya seolah aku melebur bersamanya. Bersama kenangan dan harapannya. Lukisan ini sebenarnya bisa sangat mahal jika dijual. Tapi pelukisnya menghadiahkannya padaku. Baginya, penghargaanku pada lukisannya dan kemampuanku dalam menjiwainya adalah pembayaran yang cukup untuk melunasinya. Sebenarnya aku sudah berkali-kali memaksanya untuk menerima uang dariku tapi dia menolaknya. Melihat keteguhannya untuk tidak menerima uang dariku, aku jadi mengerti bahwa dia memiliki persepsi seni yang lebih dalam.

“Biarkan seni ini menjadi semakin bermakna. “ Katanya, “suatu ketika aku pasti mati tapi karya seni yang aku buat akan abadi. Maka biarkanlah lukisan ini menjadi semakin bermakna. Berapapun uang yang diberikan aku tidak akan menjual lukisan ini karna bukan untuk uang lukisan ini kubuat. Aku merangkum kehidupanku dalam lukisan ini, merangkum seluruh kenangan. Merangkum kesedihan dan kebahagiaan menjadi satu di dalam lembaran kanvas. Satu-satunya yang kuinginkan adalah keabadian dalam lukisanku ini. Keabadian dalam kenangan bagi mereka yang mengerti seni. Ya, aku butuh uang untuk makan dan yang lainnya. Karna itulah aku menjual lukisan-lukisanku dengan nominal. Tapi bukan yang ini. Karya seni didalamnya akan luruh jika aku menominalkannya.”

Keabadian. Ya, jiwa itu abadi namun raga terikat dengan usia. Kematian raga bukanlah berarti kematian bagi jiwa. Bagi jiwa yang dititipkan dalam sebuah karya seni maka dititipkanlah keabadian dalam goresan kanvas. Meski telah lebur jasad bersama tumpukan tanah namun seni yang dibuat dengan sepenuh jiwa akan tetap hidup. Abadi. Selamanya.

Lukisan adalah sebuah rangkaian kehidupan dari lembaran emosi yang tidak dapat dituangkan melalui kata-kata. Mereka memadukan keindahan bersama buku harian kehidupannya atau filosofi kehidupannya dalam bingkai kanvas. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan emosinya. Hanya rasa sebagaimana adanya. Tanpa kalimat dan tanpa kata.

Dengan melukis, orang-orang melepaskan beban hidupnya. Mengungkapkan emosi yang tak bisa diungkap dengan kata. Mencoba membebaskan diri dari belenggu kegilaan. Tentu saja, ketika dunia tidak bisa memahami mereka, mereka bisa lebur dalam kegilaan. Dan saat itu, hanya sebuah kanvas yang dapat memahaminya. Dia akan membiarkan kuas ditangannya menari mengungkapkan rasa didalam dadanya.

Aku memandangi beberapa koleksi lukisanku satu demi satu dan melebur dalam tiap emosinya. Menyelami beragam kehidupan didalamnya. Setiap darinya memiliki kesan tersendiri. Kupejamkan mataku sejenak dan membiarkan jiwa ini hanyut dalam kumpulan imajinasi. Terbang ke angkasa menembus cakrawala harapan. Menuruni lembah keputus asaan. Hanyut dalam sungai kepasrahan dan kembali ke dunia nyata dengan air mata meleleh membasahi pipi.

Sejenak kupandangi salah satu bagian dinding yang masih kosong. Aku merenung sejenak dan tersenyum, “aku ingin membeli lukisan pemuda yang bernama Sena itu. Harus.”

****

Sanggar seni ini sudah sepi, hanya ada Sena yang sedang sibuk dengan lukisannya. Dia membelakangiku dan tidak menyadari keberadaanku yang sedang mendekatinya. Dia tampak begitu hanyut dengan pekerjaannya. Aku memandang pekerjaannya. Lukisan yang bagus dan memiliki jiwa.

Sapuan warna biru mendominasi kanvas. Campuran warnanya begitu halus. Di beberapa bagian dia memberikan bercak warna ungu dan merah dengan goresan kuas melengkung indah seperti ukiran. Di salah satu sisi dia melukis mata dengan detail yang menjadi tema dalam lukisannya. Sena sedang asyik menyapukan warna biru gelap dibagian atas kanvas, begitu gelap warnanya hingga menyerupai warna hitam. Lalu dengan tangkas dia mencampur warna dan memberikan bercak-bercak putih terang diatas warna biru gelap. Lalu dia goreskan warna kuning melingkar secara spiral yang tidak teratur sementara disekelilingnya diberikan pergantian gradasi warna dari terang ke gelap.

Aku mendesah nafas panjang seketika memahami emosi apa yang terkandung didalamnya. Sena mendengarnya dan langsung menoleh kepadaku. “Oh, Erin. Maaf, aku tidak menyadari kedatanganmu. Jika boleh tahu, angin apakah yang membawamu kesini?”

Aku diam sejenak, memandang matanya dan tersenyum, “maaf, aku jadi mengganggu pekerjaanmu, Sena. Aku terkesan dengan lukisanmu yang kau pajang di ruang pameran. Jadi aku ingin memilikinya.”

Sena tersenyum, sebuah senyum formal dan sopan yang tidak begitu alami, terlihat dari urat bibirnya yang halus terlihat, “uhm, sebelumnya aku berterima kasih atas Jus Alpukat yang kau berikan kemarin. Rasanya enak. Apalagi mengingat itu hadiah darimu. Dari seorang putri Walikota. Itu menjadi suatu kehormatan tersendiri bagiku.” Sena diam sejenak untuk berpikir, “lukisan itu, apakah begitu berharga bagimu?”

Aku mengangguk, “lukisan itu menarik. Kau memadukan nuansa kebencian ditempat yang tidak seharusnya. Itu menjadi keunikan tersendiri. Lukisan itu menggambarkan suatu kepribadian yang membingungkan untukku. Aku ingin bertanya sedikit, bolehkah?”

Sena tersenyum dan matanya sedikit menyipit, sekaligus itu menjadi pengganti kalimat, “ya.”

“Perlukah ada kebencian dalam kehidupan ini? Bukankah indah jika dalam hidup ini hanya ada kasih sayang dan rasa cinta?”

“Erin. Mungkin kau tidak mengerti. Kau yang dari kecil selalu hidup dalam limpahan kasih sayang dan hidup berkecukupan tidak akan mengerti tentang apa itu kebencian.” Sena meletakkan kuasnya di meja kecil dan memutar kursinya menghadap padaku. “Memang benar bahwa Seni itu adalah kebebasan untuk berimajinasi, dan kebanyakan orang menggunakan imajinasinya untuk lari dari kebencian. Tapi itu adalah suatu hal yang tidak semestinya. Itu namanya mengingkari kenyataan. Karnanya, melalui lukisan itu aku sedikit mengajarkan arti sebuah kebencian di atas kehidupan yang dipenuhi oleh kelembutan dan kasih sayang.”

Sena berdiri lalu mengambilkan kursi untukku. Aku duduk setelah dipersilahkan. “Tapi kenapa?”

“Karna bagi mereka yang pernah mengenal arti sebuah kebencian, arti sebuah kasih sayang itu menjadi semakin bermakna. Ya. Mungkin beberapa orang akan menyayangkan aku memberikan nuansa kebencian diatas tema lukisan yang dipenuhi oleh kasih sayang. Mungkin orang akan mengira bahwa aku berusaha merusak seluruh keindahan yang dengan susah payah kubuat dan menggantikannya dengan kebencian dan keputus asaan. Seolah aku merusak citra seniku sendiri.”

“Tidak Sena. Lukisanmu bermakna. Aku menyukai cita rasa didalamnya. Hanya saja aku merasa perlu untuk bertanya. Menurutmu, perlukah adanya kebencian didunia ini?”

“Tidak. Tentu saja. Hanya saja itu tidak mungkin kecuali di syurga sana. Mencoba membohongi diri dengan angan-angan hilangnya kebencian dari kehidupan adalah bodoh. Karna itu manusia perlu melihat realita hidup agar bisa menyesuaikan. Cobalah lihat di bangsal-bangsal RSJ disana, kenapa mereka disana? Karna mereka mencoba lari dari kenyataan, mencoba membohongi diri sendiri dan hidup dalam imajinasi yang mereka buat sendiri. Sebuah dunia imajinasi yang begitu indah sehingga mereka betah tinggal didalamnya dan tidak mau hidup didunia nyata yang keras.”

“Lukisan itu. Bagaimana kau membuatnya?” tanyaku.

“Aku sendiri tidak menyadarinya Erin. Aku hanya melebur bersama jiwaku. Aku hanya ingin melukis keindahan, mengajarkan manusia untuk memahami indahnya dunia melalui seni. Namun tiba-tiba tanganku bergerak sendiri dan melukiskan pohon kebencian itu. Itu bukan keinginanku Erin. Pohon itu membuatku takut. Lukisan itu adalah kejujuran dari perasaanku dan akupun menyadari ada kebencian dan kemarahan dalam diriku. Suatu hal yang asing bagiku tapi sekaligus begitu akrab.”

Aku diam saja mendengarkan.

“Aku selalu berusaha untuk bahagia dan membuat orang lain bahagia. Aku ingin mempersembahkan keindahan bagi dunia. Namun ketika melukiskan keindahan maka kenangan-kenangan itu kembali, kenangan buruk dimasa laluku. Penghianatan, penghinaan, kesedihan dan kebencian merasuk jelas ke alam imajiku. Aku selalu berusaha melupakannya dan berpura-pura hal itu tak pernah terjadi tapi tetap saja hatiku tak bisa berbohong pada diriku. Kebencianku yang selama ini kupendam akhirnya terlihat begitu jelas ketika aku melihat goresan kasar dalam kanvasku.”

****

Aku ingin melukis. Aku ingin lebih dalam mengenal diriku dan merangkumnya dalam sebuah kanvas. Aku berada didalam sanggar seni keluargaku, bertemankan keheningan. Kupejamkan mataku dan memulai relaksasi. Satu tarikan nafas lembut dan panjang disusul hembusan perlahan. Kutajamkan pendengaranku dan berkonsentrasi, sayup-sayup terdengar suara kipas angin, makin lama suara itu semakin keras dan semakin keras.

Terdengar lagi suara tetesan air dari arah dapur. Lalu detak jarum jam menggema didalam kepalaku. Begitu keras. Suara-suara tadi bercampur didalam kepalaku, berdentum dan saling beradu. Keheningan pun pecah oleh keramaian dan bercampur menjadi melodi.

Tiba-tiba terdengar suara musik yang mengalahkan semua suara. Sebuah musik klasik dari DVD yang sudah kusetel dengan timer. Musik itu mengalun begitu lembut membelai syaraf-syaraf imajiku. Membawaku terbang mengelana menembus batas-batas rasio. Bola mataku bergerak-gerak (Rapid Eye Movement) sebagai bagian efek penurunan gelombang otak menuju gelombang Theta dan memasuki mode hypnosis. Ketika aku berada dalam masa ini maka suara sekecil apapun menjadi sangat sugestif.

“Kau adalah angin, mengembara menyisiri lembah-lembah kehidupan.” Sebuah suara mengomandoku, suara dari DVD, dan akupun hanya bisa pasrah mengikutinya. Aku mengosongkan pikiranku, menghilangkan kenanganku sebagai manusia dan menjadi angin. Aku berhembus menyisiri padang rumput, mengukir riak dalam genangan, membelai lembut dedaunan.

Aku terus mengikuti suara-suara sugestif itu. Terbang membelah awan dan turun menghujam menghempas bumi. Lalu aku kembali menjadi diriku. Beragam kenangan menjejali kepalaku, begitu jelas dan begitu nyata. Rasa sakit, kecewa, gelisah, marah, dan bahagia datang silih berganti. Aku membedah diriku, membedah kekuatan imajinasiku sebagaimana Michaelangelo membedah mayat demi menciptakan mahakarya.

Waktu terus berlalu hingga satu jam telah berlalu, kemudian alunan musik berhenti sebagai tanda usainya masa relaksasi. Aku kembali dari masa terhipnosis dan membuka mataku. Kudapati keringat telah membanjiri tubuhku, nafasku tersengal-sengal. Beragam memori yang bergiliran masuk kedalam kepalaku cukup menguras tenagaku. Aku langsung berdiri dan mengambil air minum.

                Kenangan tadi masih menghujam kuat didalam kepalaku. Beragam emosi yang berkecamuk bergelut didalam diriku. Aku segera menghampiri kanvas dan mencampur warna. Lalu tertorehlah goresan-goresan kuas didalam kanvas yang mewakili beragam emosiku. Butuh waktu 3 hari untukku menuangkan beragam emosiku sehingga nampaklah sebuah lukisan yang melambangkan bahwa betapapun banyaknya masalah hidup semua pasti akan berakhir jika manusia percaya pada janji Tuhan. Aku tersenyum melihat tunas bunga Tulip berwarna cerah didalam kanvas yang melambangkan sebagai tunas harapan. Tunas itu berdiri kukuh seolah tersenyum, diatas reruntuhan puing bangunan dan serakan pecah belah. Begitu kontras dengan tema lukisan yang melambangkan kesedihan.

                Aku akan memajang lukisanku ini disamping lukisan Sena. Lukisanku adalah kebalikan dari lukisannya. Sena melukiskan kebencian yang menghancurkan segala keindahan, sedangkan aku melukiskan keindahan yang akan menghancurkan segala kebencian. Lukisan itu kuahiri dengan goresan kuas warna hijau terang dengan kalimat dari janji Tuhan, “sesungguhnya setelah kesukaran akan datang kemudahan.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS