Bidadari Untuk Arya
15.04 |
Semburat sinar mentari membias dalam semburat kuning keemasan tatkala berpadu dengan langit sore nan cerah. Menelisik rimbun dedaunan dengan sinarnya yang teduh dan memantulkan bayang menyilaukan dalam permukaan kolam yang tenang. Tiba-tiba ketenangan permukaan air itu buyar oleh adanya riak gelombang tak beraturan yang membuat ikan-ikan yang sedang bersantai menghirup udara berhamburan masuk ke dalam.
Aku tersenyum melihat tingkah adikku, Siska yang berkecipak di pinggiran kolam dengan kedua kakinya. Dia nampak menikmati tingkah lakunya dan terus membuat gelombang air tanpa peduli dengan ikan-ikan yang terganggu olehnya. Senyum mengembang dipipinya, membuatnya tampak begitu manis. Matanya berbinar menatap segerombolan ikan yang berhamburan.
Aku mendekatinya dan duduk disampingnya. Dingin menjalar tatkala kucelupkan kedua kakiku ke dalam kolam. “Ada apakah gerangan dengan adikku ini?”
Siska memandang ke arahku dan memberikan senyumannya yang paling manis. Siska menggeser lebih dekat ke arahku, tiba-tiba ia menggamit lenganku dan bersandar dipundakku. Aku membiarkannya dan membuatnya senyaman mungkin, “Akan segera datang hari yang paling membahagiakan untukku karna akan mempunyai kakak baru. Akhirnyaaa… setelah sekian lama menanti, hari itu datang juga.”
“Memangnya Siska belum puas memiliki satu kakak?” Tanyaku.
“Lebih banyak kan lebih baik, kak. Oh iya kak, gadis yang akan jadi kakak ipar Siska itu orangnya gimana kak?”
Aku memandang mata adikku yang teduh dan membelai rambutnya yang lurus dengan sela-sela jemariku, “Jangan terlalu optimis begitu dong, belum tentu juga dia mau menjadi kakak ipar Siska.”
“Pokoknya dia harus mau jadi kakak ipar Siska. Siska kan tidak pernah lupa berdoa tiap malam agar dia mau jadi kakaknya Siska” Siska cemberut membuat pola wajahnya begitu lucu.
Aku hanya membalas ucapan Siska dengan senyuman. Mentari sore telah kehilangan kegarangannya sehingga aku berani beradu pandang menatap kemilaunya yang menawan. Mentari sore itu begitu teduh meski tetap menyilaukan. Aku memalingkan wajahku darinya namun bercak-bercak bias mentari masih membayang di kelopak mataku.
Aku menerawang beragam pikiran tentangnya. Tentang Aisya. Aku sendiri masih penasaran dengannya, bagaimana hidupku nanti jika aku pada akhirnya bersamanya. Aku baru mengenalnya sebulan yang lalu melalui sesi ta’aruf. Namun dalam waktu yang singkat aku sudah cukup mengenal karakteristiknya.
“Setelah perempatan kedua kita belok ke kanan, disitu ada rumah berwarna hijau menghadap ke timur. Nah disitulah rumah Aisya.” Irham tidak henti-hentinya berbicara sepanjang perjalanan, memberikan informasi sedetail-detailnya karna takut aku tersesat. Bagaimanapun juga dia merasa bahwa dirinyalah yang paling bertanggungjawab atas hubunganku dengan Aisya.
Irham adalah teman lamaku di SMP. Kami kembali bertemu setelah sekian lama berpisah. Irham masih memiliki hubungan kerabat dengan Aisya, antara Aisya dan Irham ada hubungan sepupu. Aku sering sekali ngobrol dengannya dan mengungkapkan kegalauanku sebagai seorang pria yang telah beranjak dewasa, yang tiap detiknya selalu terombang-ambing oleh perasaan tak menentu karna tiadanya tempat melabuhkan hati. Karna itu Irham menjadi mak comblang hubunganku dengan Aisya. Aisya adalah seorang gadis yang menjaga kehormatannya sehingga tidak mudah didekati oleh lelaki. Dan jalanku untuk mengenalnya lebih jauh adalah melalui sesi ta’aruf.
Kami telah bertukar biodata dan mengetahui profil masing-masing. Aku tertarik olehnya dan menawarkannya untuk maju ke tahap selanjutnya. Itulah sebabnya hari ini aku jauh-jauh datang kesini dengan Irham yang sekaligus menjadi penunjuk jalan.
“Assalamu’alaykum…” Aku mengucapkan salam ketika akhirnya kami sampai di depan rumah Aisya.
Belum ada jawaban. Kami berdua menunggu dengan sabar. Ketika aku hendak membuka mulutku untuk mengucapkan salam yang kedua kalinya, terdengar sebuah jawaban dari dalam.
“Wa’alaikum salam warohmatulloh… sebentar…” sayup-sayup terdengar suara seorang gadis.
Gadis itu membuka pintunya dan berpapasan muka denganku. Wajahnya persis seperti yang ada di foto. Tak salah lagi, pasti Aisya. Jantungku berdegup kencang ketika pandangan mata kami bertemu. Pandangan matanya begitu menyihirku. Aku hendak menundukkan pandangan ketika akhirnya aku sadar bahwa tidak ada salahnya menikmatinya. Aku memandang matanya dan tersenyum, kubiarkan dadaku berdesir nyaman. Terpesona oleh kecantikannya.
“Oh mas Arya, mari silakan masuk. Mas Irham juga masuk aja.” Aisya mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya. Aisya membetulkan kursi yang kurang rapi dan mempersilakan kami duduk.
“Tunggu sebentar ya, mas.” Kata Aisya lembut, kemudian dia masuk ke dalam. Aku tidak melepaskan pandanganku darinya hingga Aisya menghilang di balik dinding. Angan-anganku melayang entah kemana. Aku hampir tidak percaya bisa bertemu gadis seanggun Aisya.
“Arya… Arya…” suara Irham membuyarkan khayalanku.
“Ada apa?” Jawabku.
“Ah enggak. Cuma memastikan kalo jasadmu masih ada isinya, hehe…” Irham tertawa kecil untuk kemudian memasang mimik lebih serius, “jangan lupa, ini tahapan yang serius. Keputusan apapun yang dibuat bisa menentukan takdirmu. Bagaimanapun juga, Aisya tetaplah seorang manusia yang juga memiliki kelemahan. Jadi bersikaplah objektif dalam menilainya.”
Aku menganggukkan kepalaku pertanda setuju. Irham benar, aku tidak boleh hanya terpesona oleh keanggunan Aisya saja, aku harus menilainya secara objektif berikut semua kelemahan dan kekurangannya. Sebelum aku mengambil keputusan final yang akan menjadi nasibku.
“Bagaimana perjalanannya mas, tidak tersesat kan?” Aisya datang dengan membawa nampan berisi minuman dan kue.
“Alhamdulillah tidak, kan ada Irham.” Jawabku sambil terus memandangnya, mencoba melihat semua tentang dirinya. Tentang tutur katanya, ekspresinya, emosinya bahkan kesalahannya.
“Mari silakan diminum.” Kata Aisya, “maaf sepi, adikku masih di Sekolah, abi masih kerja, sedangkan ummi lagi keluar. Terima kasih mas Arya sudah datang jauh-jauh kesini agar kita bisa saling mengenal lebih dekat. Ini adalah hari yang penting buat kita, karna hari ini keputusan akan segera diambil.”
Aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Jika ta’aruf ini dilanjutkan ke sesi berikutnya maka aku akan tambah keluarga. Aku akan memiliki seorang adik ipar dan ayah-ibu mertua. Aisya adalah gadis yang baik dari segala sisi. Dia pandai memasak. Nasabnya jelas. Rajin dan yang terpenting bagus agamanya. Dari sisi fisik dia juga cukup anggun. Jika aku harus melihat keburukannya maka itu menjadi sulit bagiku. Tapi bukan tidak ada. Tapi kebaikannya terlalu banyak dibandingkan keburukannya. Dia sangat sensitif, perfeksionis dan mudah cemburu. Itu sangat manusiawi. Menurutku dia sudah sempurna, dan aku adalah seorang pria yang sangat beruntung bila mendapatkannya. Pertanyaannya sekarang. Apakah dia mau mempersembahkan seumur hidupnya untukku?
Kami berdua saling mengobrol sementara Irham sibuk sendiri dengan HPnya. Kami saling menceritakan kehidupan masing-masing. Tentang keluarga. Tentang cita-cita dan semuanya. Aisya bersikap sangat terbuka dan akupun bersikap terbuka.
“Apakah mas Arya pernah merasakan jatuh cinta?” Aisya bertanya dengan nada yang tenang, namun perkataannya yang tenang menjadikan gemuruh didalam dadaku. Jatuh cinta? Pernahkah aku merasakannya? Aku adalah seorang pemuda biasa yang sering kali dilanda gejolak. Aku bukan pula seorang yang paham agama sehingga bisa terus membentengi diri.
Kembali aku terkenang masa-masa Sekolah dulu. Tentang seorang gadis yang pernah membuatku begitu terpikat olehnya. Apakah aku harus terbuka tentang hal ini pada Aisya? Tapi jika aku berbohong maka tidak akan ada berkah bagi ta’aruf ini.
“Pernah. Itu dulu.” Aku menjawab dengan pasrah.
Aisya menatapku lama kemudian seberkas senyum menghias lesung pipinya, “itu sangat manusiawi karna aku juga pernah merasakannya.”
DEGG !!!
Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdetak keras. Sesuatu yang hangat semakin membara didadaku. Perasaan apa ini? Ini adalah perasaan yang sama dengan waktu dulu, ketika aku mendengar Risma jatuh hati pada lelaki lain selain diriku. Ada panas membara tapi aku tidak tau harus berbuat apa.
Aku tidak berani menatap tatapan Aisya yang sejuk karna takut akan kecewa. Meskipun ini hanyalah ta’aruf tapi aku telah merasa hampir memiliki Aisya. Tinggal satu langkah lagi. Aku benar-benar tidak ingin kecewa. Sudah beberapa kali aku gagal dalam ta’aruf dan itu cukup menyakitkan. Aku tidak bisa menyangkal bahwa aku jatuh hati pada Aisya dengan segala keterbukaannya. Jika harapanku padanya kandas maka akan butuh waktu bagiku untuk menenangkan perasaanku.
“Dulu aku mencintainya…” Aisya mulai bercerita, “tapi sekarang tidak ada sedikit rasapun tersisa karna cintaku padanya ternyata hanyalah sensasi, gelora muda yang bergejolak, tidak lebih dari itu. Untungnya aku tidak pernah mengungkapkannya dan hanya memendamnya sendiri. Sehingga tidak ada kenangan antara aku dengannya. Tanpa adanya kenangan, maka melupakan menjadi semudah membalik telapak tangan. Sampai sekarang aku belum pernah memberikan cintaku pada siapapun. Dan cinta pertamaku haruslah kepada yang layak untuk dicintai.”
Aku menghela nafas lega. Tiba-tiba bara api didadaku menguap menjadi dingin. Harapan itu masih ada. Harapan untuk mendapatkan cinta pertama. Aku senang mendengarnya, ini benar-benar melegakan. “Ternyata sama ya? Sebagai lelaki, telah berkali aku terpesona oleh wanita namun aku terlalu takut untuk mengungkapkannya. Sehingga cinta pertamaku masih belum ada yang menerimanya.”
“Maaf jika pertanyaan ini sedikit mengusik, apakah mas Arya mencintaiku?” Pertanyaan yang tajam dan menghujam, namun Aisya mengatakannya dengan nada senetral mungkin. Pertanyaan ini bisa jadi jebakan buatku. Mungkin karna ini adalah sesi terakhir ta’aruf, Aisya bermaksud membedahku sedalam-dalamnya sebelum mengambil keputusan.
Aku diam sejenak memikirkan apa yang harus kujawab. Apakah aku sudah mencintainya? Padahal aku baru mengenalnya dan aku tidak memiliki kenangan terhadapnya, jadi apa alasanku mencintainya. “Belum. Rasa cinta ini belum hadir karna aku merasa rasa itu belum semestinya datang. Rasa cinta ini tidak boleh datang dan pergi sesuka hatinya. Aku harus bisa mengaturnya. Aku hanya boleh mencintai dia yang sudah menjadi milikku dan halal bagiku. Namun Aisya, aku memiliki harapan besar terhadapmu. Yang aku rasakan terhadapmu mungkin bukanlah cinta, namun sebuah harapan. Bagaimanapun juga dalam waktu yang singkat ini aku telah banyak mengenalmu melalui keterbukaan semacam ini. Belum semestinya bagiku untuk mencintaimu karna sampai saat ini, memilikimu barulah sebatas kemungkinan. Jadi, jika aku mencintaimu sementara akhirnya tidak memilikimu maka aku akan merasa sakit. Maka lebih baik kiranya aku mencintaimu setelah memilikimu. Jika telah pasti kau menjadi milikku, maka menjadi kewajiban bagiku untuk mencintaimu. Menikahi orang yang dicintai itu barulah sebatas kemungkinan, namun mencintai orang yang dinikahi adalah sebuah keharusan.”
Aisya tersenyum, puas dengan jawabanku. Lalu matanya menatap langsung kemataku, aku sedikit salah tingkah dan hendak menundukkan pandangan ketika aku sadar bahwa Aisya ingin mengetahui apa yang menarik dari diriku sebelum mengambil keputusan, maka kubiarkan mataku beradu pandang dengannya. Aisya tersenyum, menambah indah parasnya yang cantik. Akupun membalas senyumannya. Dadaku berdesir tidak menentu sehingga rasa ini semakin menguat.
“Mas Arya, apakah kau menginginkanku?” Aisya mengajukan pertanyaan ketika aku sedang terpesona oleh kecantikannya sehingga membuatku gugup. Namun tidak perlu waktu sedetik bagiku untuk memberikan jawaban.
“Tentu saja. Aku menginginkanmu.” Jawabku mantap.
Aisya menarik nafas lega, “kalau demikian, segeralah ambil diriku. Aku tidak akan berpikir untuk kedua kalinya untuk memberikan diriku padamu.” Pipi Aisya memerah tatkala mengucapkannya.
Nafasku tercekat bersama degup jantung yang berhenti berdetak sepersekian detik. Aku membeku tak tau harus berkata apa. Sudah selesaikah? Benarkah dia sudah menerimaku? Aku hampir tak percaya dengan perkataannya. Gadis seanggun Aisya mengatakan bahwa dia ingin aku memilikinya, “Jadi. Inilah hasil ta’aruf yang sudah kita jalani selama sebulan.”
Akhirnya selesai juga. Aku benar-benar luar biasa lega. Beragam khayal seketika berjejalan masuk ke dalam kepalaku, memberikan pernak-pernik permata keindahannya. Aku nyaris mengira bahwa aku salah dengar, namun melihat senyumnya membuatku semakin yakin bahwa aku tidak sedang bermimpi. Aku menyandarkan punggungku ke kursi, mencoba hilangkan ketegangan dari percakapan tadi.
Irham memandang ke arahku dan dan tersenyum puas.
“Bagaimana Arya?” Tanya Irham.
“Bagaimana apanya?”
“Sesi ta’arufnya kan sudah selesai. Lalu mau kapan menemui pamanku secara langsung? Dalam minggu ini aku masih bisa meluangkan waktu untuk menemanimu.”
“Aisya…” panggilku pada Aisya.
“Iya. Ada apa, mas?”
“Jam berapa ayahmu pulang?”
“Nanti sore. Kenapa?”
“Ah tidak apa-apa. Aku hanya merasa sudah tidak sabar.” Jawabku,” aku akan menunggu kedatangannya. Hari ini juga aku akan langsung melamarmu.”
Aisya membelalakkan matanya dan terdiam seolah tak percaya, “ha… hari ini juga?? Mas Arya serius?”
“Rasanya aku tidak akan sanggup jika harus menunggu besok. Bagaimana Irham? Kau tidak keberatan kan?”
“Tentu saja. Dengan senang hati. Menanti datangnya sore tidaklah seberapa jika dibandingkan penantianmu selama bertahun-tahun.”
“Sebentar lagi Ummi pulang, kita makan bareng aja disini. Nanti biar Aisya yang masakin.” Kata Aisya dengan penuh semangat. Aku sendiri juga sangat bersemangat.
“Wah jadi ngrepotin nih.”
Menunggu hingga sore rasanya tidak akan terlalu lama karna ditemani oleh Aisya. Kamipun saling berbincang dan diskusi tentang rencana pernikahan. Setengah jam kemudian ibu Aisya pulang, aku memperkenalkan diriku dan mengatakan maksud kedatanganku. Ibu Aisya sangat ramah terhadapku, dia membicarakan tentang Aisya dari kecil hingga sekarang sehingga aku bisa lebih mengenal keluarga ini, yang nantinya akan jadi keluargaku juga. Tidak terasa sore haripun tiba, setelah menunaikan sholat Ashar berjamaah. Aisya sekeluarga berkumpul. Aku sempat berbincang dengan adiknya Aisya yang bernama Rafi. Ayahnya Aisya yang bernama Pak Rusli ternyata adalah orang yang sangat peduli dengan dunia perpolitikan. Setelah menghabiskan waktu 30 menit untuk basa-basi, akhirnya aku, meskipun gugup, menyampaikan maksudku untuk meminang Aisya. Dan akupun mendapatkan sambutan yang baik.
“Waidza qobiltu nikahaha watajwijaha inni kuntu minadhdholimin.” Aku mengucapkannya dengan tegas dan pasti didepan penghulu yang kemudian menyatakan bahwa pernikahanku dengan Aisya telah sah. Para tamu yang berjejalan menyaksikan ijab qobul menarik nafas puas. Merekapun dibawa ke tempat jamuan. Sementara kami berdua dibawa ke kursi pelaminan menghadap para tamu, ayah ibuku berada disampingku, sementara ayah ibu mertuaku disamping Aisya. Tentu saja aku dan Aisya duduk berdampingan di sebuah kursi yang cukup panjang.
Hari ini sepenuhnya menjadi milik kami. Aku dan istriku duduk di singgasana seperti halnya Raja dan Permaisurinya. Kami adalah orang terpenting saat ini. Semua mata tertuju pada kami bersama iringan doa, “Barokallahu fiik”. Kami berdua adalah aktor utamanya. Aku menikmati saat-saat seperti ini. Bibirku tidak bosan-bosannya menyunggingkan senyumnya. Aku seperti terlahir menjadi manusia yang baru. Aku merasa lebih menjadi manusia. Kini aku memiliki tambatan hati. Agamakupun lebih sempurna. Dan aku telah genap menjadi bagian masyarakat. Sebagai kepala rumah tangga.
Diantara para tamu itu aku melihat teman-temanku, aku melambaikan tangan pada mereka. Aisya juga beberapa kali menganggukkan kepala dan tersenyum formal untuk menyapa teman-temannya. Adik iparku tampak asyik berbincang dengan temannya. Siska sendiri tidak nampak dihadapanku. Mungkin sedang berada didalam.
Aku menatap kearah Aisya yang sedang senyum-senyum sendiri. Aisya sedikit salah tingkah ketika menyadari aku memperhatikannya.
Aku mendekatkan diri ke telinga Aisya dan berbisik, “Nah, sekarang aku bisa mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu, istriku.”
“Aku juga mencintaimu, suamiku.” Bisik Aisya sambil tersipu.
Aku menggenggam tangannya dan berharap tidak ada yang sanggup melepaskannya. Aku mencintainya, sekarang aku benar-benar mencintainya tanpa sedikitpun rasa ragu. Kepadanya aku berani mempertaruhkan segalanya. Bahkan nyawaku sendiri. Tidak akan ada satupun wanita yang sanggup memikatku selain istriku. Dan tidak ada lagi wanita yang cantik dimuka bumi ini selain istriku. Aku akan mempersembahkan hidupku untuk membahagiakannya. Dan takkan kubiarkan seekor semutpun mengganggu keutuhan rumah tanggaku.
“Mas…” sapa Aisya lembut.
“Iya, istriku.”
“Kalau ini sebuah film, maka semua ini sudah selesai. Pernikahan adalah puncak kebahagiaan.”
“Iya. Tapi ini kehidupan nyata, istriku. Bukan film. Pernikahan ini bukanlah akhir. Justru sebaliknya, kita baru memulai. Mungkin nanti di antara kita akan ada perselisihan, pertengkaran, percekcokan dan semisalnya. Nanti akan ada banyak sekali masalah yang harus diselesaikan. Jika kita bisa menyikapinya, bisa saling mengerti dan memahami maka setiap masalah hanya akan berhembus lalu seperti angin sepoi.”
“Memang akan ada banyak masalah nantinya, mas. Tapi jangan khawatir, karna aku mencintaimu dengan tulus. Ini bukan lagi cinta semu yang pernah dirasakan oleh gadis labil bernama Aisya sewaktu SMA dulu. Cinta ini akan tetap bersemi meski ketika aku marah pada mas Arya, meski pada saat mas Arya tidak bisa memahamiku. Cinta ini akan tetap ada, karna cinta ini tulus karna Allah. Cinta ini suci dalam restu Ilahi dan dalam ucapan selamat dari para Malaikat. Karna itu cinta ini akan terus terjaga hingga akhir masa. Aku akan tetap mencintai mas Arya karna aku mencintai Allah, karna cintaku pada mas Arya adalah ibadah. Sementara tujuan Allah menciptakanku adalah untuk beribadah. Jadi aku tidak punya alasan untuk tidak mencintai mas Arya.”
Aku menggenggam tangan Aisya lebih erat, “jangan khawatir tentang beragam masalah yang akan datang karna mereka pasti akan tetap datang. Allah bersama kita. Allah akan membela kita. Aku akan tetap mencintaimu sebagaimana cinta Ali kepada Fatimah. Aku akan tetap mencintaimu hingga ujung usia. Hingga kulitmu telah keriput. Dan ketika Izroil menjemputku nanti aku akan menggenggam tanganmu, seperti yang kulakukan saat ini. Dan aku akan berkata padamu, aku menunggumu di Telaga Kautsar.”
Aisya tersenyum mendengarnya, lalu dia berkata, “Kemudian, aku akan menjadi bidadari syurgamu. Dan kita akan membangun kembali rumah tangga di syurga. Tempat yang hanya berisi kedamaian dan kebahagiaan. Dimana tidak ada lagi masalah hidup, tidak ada lagi kegelisahan dan tidak ada lagi kebencian.”
Aku memandang mata Aisya dengan keteduhan, Aisya membalas pandangan mataku dengan kesejukan. Dua insan yang saling menyinta dipersatukan oleh pernikahan. Bersama itu ditaburkan barokah dari langit.
“Kakaaakk…” terdengar suara Siska memanggilku.
“Ada apa, Siska?” Tanyaku.
“Bukan kak Arya. Tapi kakak baruku, kak Aisya.” Komentar Siska.
Aku dan Aisya tertawa mendengarnya.
“Ada apa adikku?” Tanya istriku kepada Siska.
“Setelah ini kita foto bareng ya, kak? Nanti fotonya biar aku posting ke efbe.”
“Kenapa tidak dengan mas Arya?”
“Kalo fotoku dengan kak Arya kan sudah banyak, jadi sekarang aku pingin foto dengan kak Aisya. Boleh kan? Boleh kan? Pasti boleh dan harus boleh.”
Aisya tak kuasa menahan senyum mendengar celoteh Siska.
“Kenapa tidak foto bertiga saja?” Aku berkomentar.
“Pasti dong kak. Nanti ada fotoku yang berdua dengan kak Aisya, ada juga yang foto bertiga.” Jawab Siska.
“Baiklah adikku yang manis, setelah ini kita bisa foto-foto.” Aisya berkata pada adikku.
Siska tampak senang mendengarnya. Siska berlalu dari hadapan kami dengan bersenandung riang. Aku tersenyum geli melihatnya.
“Istriku…”
“Ada apa?”
“Nanti malam jalan-jalan yuk!”
Aisya tampak terkejut mendengarnya, “malam ini?”
“Iya. Aku ingin mengajak istriku berkeliling menikmati malam. Sudah lama aku ingin melakukannya. Dulu aku sering merasa iri tiap melihat muda-mudi berboncengan di malam hari untuk menikmati malam. Jadi aku ingin melakukannya juga.”
Aisya tertawa mendengarku, “ah mas Arya ada-ada saja. Baiklah mas, nanti kita berkeliling. Kita nikmati indahnya malam layaknya muda-mudi yang sedang berpacaran.”
Read User's Comments(1)
Langganan:
Postingan (Atom)